Jumat, 10 April 2009

Nikah Sirri

NIKAH SIRRI DI INDONESIA

ANALISIS HUKUM DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA

Oleh :

SYAHRUL MUBAROK

NIM: 2005001109

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIDAYAH

GANG. PURNAMA JALAN RAYA CIMANGLID CIAPUS

BOGOR


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT , Maha pengasih dan Maha penyayang, kepada-Nya lah kami menyembah dan meminta pertolongan, sehingga sampai saat ini kami masih bisa memerankan tugas mulia sebagai Tholibul Ilmi walaupun hanya dalam bentuk kuliah, membaca buku, dan menulis, serta masih diizinkan untuk menghirup udara segar dari bumi yang telah Ia diperuntukkan bagi anak cucu adam ini. Afala Asykuru?

Sholawat beserta Salam kepad uswah ummat manusia, Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wasallam, pengemban risalah ilahi, mujahid sejati yang pernah berucap kepada pamannya:

‏يا عم، والله لو وضعوا الشمس في يمينى والقمر في يسارى على أن أترك هذا الأمر ـ حتى يظهره الله أو أهلك فيه ـ ما تركته‏

ِِAndai mereka matahari mereka ditangan kananku dan bulan diatangan kiri ku agar aku meninggalkan risalah (islam) maka tidak akan aku lakukan sampai Allah memberi keputusan-Nya padaku atau aku mati karenanya (dalam memperjuangkannya).” [1] .

Amma ba’du, ucapan terima kasih kami yang tak terhingga kepada Al-Mamater tercinta Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah beserta ketua, serta seluruh dosen yang berkecimpung dalamnya wabil khusus dosen pembimbing yang dengan sabar selalu setia menemani kami dan menghantarkan kami ke gerbang akhir perjalanan kuliah kami di kampus ini, semoga Allah membalas kebaikan mereka di dunia dan akhirat.

Ucapan terima kasih kami juga kepada Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Fathan Mubina, Ustadz H. Chairuman Kamal, M.A, yang telah beberapakali meminjamkan software Maktabah Syamilah, yang bagi kami terasa sangat membantu ditengah sulitnya ditemukan kitab-kitab Turats. Disamping beliau juga mengizinkan kami menggunakan fasilitas internet untuk mencari bahan sebagai tambahan dan pengembangan wacana tulisan. Juga kepada Abangku ustadz Muflih Kamil, Ustadz Asmon di Solok Sumbar, serta saudaraku Irvan Awwaluddin yang ikut membantu dalam penulisan dan mendiskusikan topik-topik di seputar tema yang kami tulis.

Tidak lupa kami ucapkan "syukran jazilan wa jazaakumullahu khairan" kepada rekan-rekan yang selalu ceria menemani kami sehari-hari di Pondok Pesantren Fathan Mubina, menggantikan posisi kami dalam beberapa kegiatan yang seharusnya menjadi tanggungjawab kami, yaitu saudaraku Dadan Abdullah, Jaka Priatna, Mauri kelana, Kusnadi Adam, Suhendra, dan lain-lain yang tidak kami sebutkan namun tidak mengurangi rasa terima kasih kami pada mereka.

Akhir kata, kami berharap semoga Allah membalas kebaikan ikhwan-ikhwan semua dan memberi kami kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini hingga ujian munaqosyah. Amin. Semoga tulisan ini bermamfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya

Ciawi, 17 Juni 2009

Penulis


DAFTAR ISI

Kata pengantar ……………………………………………………….

Daftar isi . ……………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN …………………………

Latar Belakang ………………………………………………………………

Rumusan Masalah ……………………………………………………………

Batasan Masalah

Tujuan Penulisan

Kerangka Pemikiran

Langkah-Langkah Penelitian

Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH SIRRI

2.1. Pengertian Nikah Siri atau kawin sirri

2.2. Nikah Siri Dalam Masyarakat Indonesia

2.3. Nikah Sirri Dalam Kajian Ilmu Fiqh

BAB III FENOMENA DAN STATUS HUKUM NIKAH SIRI

3.1. Bentuk-bentuk Nikah Yang diharamkan Dalam Islam

3.2. Hukum Nikah Siri Dalam Islam

3.3. Faktor Pendorong Terjadinya Nikah Siri

3.4. Dampak Nikah Siri.

BAB IV NIKAH SIRI DALAM UU PERKAWINAN DI INDONESIA

4.1. Sejarah Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

4.2. Nikah Siri Di Mata Undang Undang Perkawinan Di Indonesia

BAB IV PENUTUP

4. 1. Kesimpulan

Daftar Pustaka


BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Perkawinan sirri adalah perkawinan rahasia, kadang kita kenal dengan nikah bawah tangan atau mungkin dalam khasanah kajian hukum islam konteks nikah semacam ini mendekati istilah nikah yang kita kenal dengan nikah misy’ar.

Terkadang pernikahan tidak diketahui oleh orang tuanya, seperti kawin lari, tidak diketahui oleh orang banyak dan tidak diketahui oleh pemerintah yang sah dalam hal ini perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah atau instansi yang khusus menangani bidang munakhat dan mu'amalah lainnya, yang kita kenal dengan nama KUA (kantor usrusan agama).

Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang sudah lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama bagi para istri. Dari kasus inilah maka perkawinan sirri dijadikan objek kajian material, seperti perkawinan menurut psikologi, perkawinan menurut antropologi dan sebagainya.

Kajian perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian cukup meyerap perhatian masyarakat, karena perkawinan tidak hanya dipandang sebagai hunungan antara sepasang laki-laki dan perempuan dari sudut pandang sosial saja, tetapi juga dipandang menurut norma hukum dan norma agama, padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.

Jelas bagi kita bahwa perkawinan diadakan untuk menyelamatkan moral kebudayaan, sehingga prilaku seksual yang menyimpang dapat dikikis. Budaya free sexs yang sedang menjadi perhatian orang banyak merupakan budaya barat yang sangat merugikan secara hukum pada perempuan atau anak yang dikandungnya, karena pembelaan hak-hak anak, atau uang belanja istri menurut hukum diakui berdasarkan adanya perkawinan. Jika mereka tidak memiliki akta perkawinan, maka akan hilang begitu saja hak-haknya, sementara laki-laki bebas berkeliaran tanpa ada alasan untuk menjeratnya dengan kasus hukum apapun.

Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat pembuktian, yaitu pembuktian surat. Sedangkan menurut norma agama pencatatan merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan.

Dan juga harus diketahui bahwa perkawinan itu dianggap sah kalau pelaksaannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tujuan perkawinan adalah untuk membina ketenteraman hidup berkeluarga bagi dua orang yang melakukan perbuatan hukum itu sehingga memperoleh kebahagiaan, menurunkan keturunan yang sehat dan kuat serta untuk memperbanyak kerabat dan family. Kerabat harus dipelihara baik dalam garis lurus, menyimpang ataupun kerabat beriparan yang lahir akibat perkawinan itu.

Allah berfirman:

uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ z`ÏB Ïä!$yJø9$# #ZŽ|³o0 ¼ã&s#yèyfsù $Y7|¡nS #\ôgϹur 3 tb%x.ur y7/u #\ƒÏs% ÇÎÍÈ

“dan Dia (Allah) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan menusia itu punya keturunan dan beriparan. Dan Tuhanmu Maha Kuasa”. (al-Furqon: 54).

Selain itu, Allah menerangkan tentang penting menjaga dan memelihara kekerabatan dengan firman-Nya. Dalam al-Quran surat An-Nisa', ayat:1

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u

Artinya.

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisa': 1)

Maksud pemeliharaan keluarga dan beriparan di sini ialah agar tetap rukun, berkasih sayang, tolong-menolong dan saling mencintai.

Aisyah istri Nabi berkata antara lain; “Perkawinan dalam islam itu adalah seorang lelaki meminang seorang perempuan pada ayah atau wali perempuan itu yang berada di bawah wewenangnya. Lalu kalau pinangan itu sudah diterima, ia membawa mahar atau maskawin dan dinikahkanlah”. (H.R. Tirmidzi)[2]

Rasulullah menyuruh untuk memusyawarahkan lebih dahulu setiap pinangan dengan ibu dan si anak dan mengancam dengan fitnah atau fasad bila terjadi penolakan pinangan bukan karena faktor beda agama atau kelakuakan yang buruk, misalnya penolakan karena factor kesukuan atau keturunan. (H.R. Bukhari)[3]

Seorang wali tidak boleh mengawinkan gadisnya secara paksa sedangkan wali dan sebalinya wali yang tidak mau menikahkan gadisnya yang sudah meminta persetujuannya dengan sungguh-sungguh, sifatnya memaksa, dikenal sebagai wali adhol dan gugur haknya sebagai wali. Lalu hak itu dapat dipindahkan kepada wali hakim yang berkewajiban menikahkan gadis itu

Allah berfirman dalam quran

#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ

Artinya:

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqoroh : 232)

Dan dalam ayat lain Allah berfirman

$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ

Atimya:

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-nisaa’: 19)

Agama islam menganggap perkawinan itu merupakan soal pribadi dan soal masyarakat, sudah ditata sebaik-baiknya, tapi masih tetap menghargai hak asasi seseorang terutama dalam masalah dorongan untuk memperoleh keturunan (seks), suatu dorongan yang erat kaitannya dengan akhlak dan prilaku seseorang. Maka, demi menjaga kesucian agar tidak menjerumuskan orang ke dalam perzinaan, pesan Nabi itu dapat dilanggar atau ditinggalkan sebagian atau seluruhnya, asalkan mereka menikah walau dengan perantaraan wali hakim.

Jelasnya, seorang wanita yang tidak mempunyai wali karena memang tidak ada atau tidak berhak karena cacat atau sudah wafat atau karena berada di tempat yang jauh, atau karena si wali adhi tidak mau menikahkan seperti diterangkan di atas, maka wanita itu berhak menunjuk wali hakim, yang akan menikahkannya di hadapan dua orang saksi. Dengan pernikahan itu dianggap perkawinannya sudah sah

Tiap-tiap hukum menentukan hak dari masing-masing individu, tiap individu berhak melepaskan haknya, terutama hak terhadap orang yang dihormati, dicintai karena besar jasanya. Dalam dunia ini tidak ada manusia yang lebih besar jasanya selain dari kedua orang tua, yaitu ibu dan ayah

Seorang gadis muslimah bertanya pada Nabi, “Ya Rasulullah, ayahku menikahkanku dengan keponakannya, padahal aku tidak menginginkannya, atau dengan kata lain dia menikahiku secara paksa. “Maka Rasulullah berkata, Engkau berhak membenarkannya atau membatalkannya”. Gadis itu lalu berkata, “ya Rasulullah, aku menerima apa yang telah dilaksanakan oleh ayahku. Pernyataanku ini hendaknya diketahui oleh gadis-gadis muslimah”. (HR Ibnu Majah)[4]

Sikap semacam ini adalah wajar bagi kedua orang tua gadis itu karena mereka berdua mendambakan kepatuhan dan bakti gadisnya, di samping mengharapkan agar gadisnya bisa hidup bahagia. Dunia yang cukup luas dan indah, tak akan lebih indah pada pandangan mereka berdua dibandingkan dengan menatap kebahagiaan hidup gadis mereka.

Dalam Quran surat Luqman Allah menerangkan kewajiban mensyukuri ibu-ayah, menaati mereka dalam segala hal kecuali dalam kemusyrikan dan kemaksiatan. Meski demikian, tetap diwajibkan untuk menggauli mereka dengan sopan dan baik, tidak meyakitkan hati mereka dengan perbuatan atau dengan perkataan “huuh” atau "Ah", seperti dinyatakan dalam al-Quran Surat: Al-Isra': ayat: 23[5].

4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

Artinya

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia

Tindakan pasangan nikah dengan cara melarikan diri atau dengan cara diam-diam tanpa minta restu orang tua akan menghilangkan tujuan-tujuan yang mulia dan menyakitkan hati kedua orang tuanya, dan akan meninggalkan hal yang buruk bagi keturunan mereka, yang selalu mengingatkan keturunan mereka bahwa mereka dilahirkan akibat kawin lari, yang tentunya akan membuat mereka sedih dan merasa terhina.

B. PERUMUSAN MASALAH

Nikah Sirri, istilah ini lebih populer secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia.Oleh sebab itu tidak ditemukan definisi yang pasti dan disepakati secara syar’i, dengan demikian tidak ada juga status hukumnya yang baku dan disepakati.

Untuk mengetahui status suatu hukum, kita harus menentukan dulu hakikat atau batasan sesuatu tersebut. Dalam konteks perkawinan, haram dan halalnya atau sah dan batalnya sesuatu perkawinan bukan karena namanya, tetapi kepada tatacara dan praktek dari perkawinannya itu sendiri.

Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan persyaratannya. Yaitu adanya dua calon pengantin baik bertatap muka atau jarak jauh, ada wali nikah dari pihak perempuan, ada saksi, ada maskawin, dan terlaksananya ijab-qabul perkawinan. Disamping itu, syarat bagi orang yang akan melangsungkan pernikahan itu bukanlah pihak-pihak yang dilarang menikah menurut Islam. Seperti paman dengan keponakannya, haram untuk menikah.

Nikah Sirri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian:

Pertama, perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.

Kedua, perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.

Pada prinsipnya, selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam., yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia.

Disamping itu, perkawinan sirri juga membawa kemudharatan secara sosial, karena tanpa terdaftar secara administratif di KUA dan tidak mempunyai Akta Perkawinan, maka status perkawinan tersebut melemahkan posisi kaum wanita jika suatu waktu terjadi persengketaan rumah tangga. Apalagi jika nikah sirri itu hanya dijadikan kedok untuk perselingkuhan sehingga melabrak rukun dan syarat perkawinan yang baku , maka sudah barang tentu jatuh kepada perbuatan yang haram dan perkawinannya

Berangkat dari hal tersebut makan kami merumuskan beberapa masalah yang menjadi fokus pembahasan :

1. Bagaimanakah persepsi hukum mengenai nikah sirri?

2. Adakah istilah nikah siri dalam kajian fikih klasik, lalu apakah istilah yang mewakili jenis pernikahan seperti ini?.

3. Bagaimanakah status hukumnya ditinjau dari hukum Islam?

4. Apakah tindakan dari pihak pemerintah terhadap pelaku nikah sirri ?.

5. Apakah faktor-faktor yang medorong terjadinya nikah sirri?

6. Apakah dampak-dampak negative sosial dan psikologis pada keluarga yang melakukan nikah siri?

7. Apakah upaya untuk menyadarkan masyarakat agar menjauhi nikah siri?

C. BATASAN MASALAH

Tidak dipungkiri bahwa sering ditemukan tulisan-tulisan yang men-general dan bersifat deskriftif tanpa jelas ujung dan kesimpulan, maka dari itu dalam hal ini penulis menilai agar tidak meluasnya pembahasan tentang nikah sirri kearah yang tidak bermuara, maka kami membatasi pembahasan mengenai tema ini dengan Legalitas Nikah Sirri Di Mata Hukum Islam

D. TUJUAN PENELITIAN

Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penulisan tema ini, mengingat santernya berita dikalangan masyarakat akhir-akhir ini, yang pro dan kontra dalam melihat dan menilai nikah sirri baikk secara sosial maupun sudut pandang islam, diantara tujuan-tujuan yang kami harapkan adalah:

  1. Menyelami dalamnya samudera hukum Islam yang tercakup dalam al-Quran dan Hadits yang telah di tetapkan Allah sebagai rujukan dan pegangan hidup Muslim.
  2. Menambah wawasan tentang khasanah hukum islam dalam mengcounter dan menengahi setap problem sosial masyarakat yang selalu update dan bervariasi.
  3. Memahani kemajemukan masyarakat islam dalam kancah kehidupan sosial seiring dengan bervariannya problem yang mereka hadapi
  4. Menginventarisir data yang menjadi barometer statistic perkembangan nikah sirri dalam masrakat Indonesia dan sebagai landasan pijakan untuk ditetapkannya suatu hukum atas perbuatan tersebut
  5. Memahami dan mempelajari undang-undang dan ketentuan yang telah disepakati dan menjadi ketetapan bagi warga Negara Indonesia:

a. Undang-Undang Pasal 2 No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan:

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku"

b. Undang-Undang No. 1 Pasal 3 Tahun 1974 tentang perkawinan:

"Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."

  1. Membandingkan dan menimbang apakah ketetapan yang telah ditetapkan menjadi undang-undang tersebut sesuai dengan syari’at islam atau tidak.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Pernikahan siri yang akhir-akhir ini banyak sekali dibicarakan di media massa. Sangat menarik perhatian masyarakat. Umumnya masyarakat sangat menyayangkan hal ini dan prihatian akan nasib perempuan dan anak yang dilahirkan dari pasangan ini.

Padahal, tujuan perkawinan menurut Hukum lslam adalah menjalankan perintah Allah Subahanahu Wa Ta'ala[6], agar dapat rnernbentuk keluarga yang sakinah, sebagai wadah tempat berbagi, mencurahkan kasih sayang, dan tidak hanya sebagai tempat penyaluran hasrat biologis dan melahirkan keturunan.

Adapun tujuan perkawinan menurut Hukum Positif indonesia, untuk rnembentuk keluarga yang bahagia. Artinya, ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk rnenciptakan ketenangan dan kedamaian bagi manusia yang telah mampu untuk melaksanakannya.

Nikah siri atau sering juga disebut nikah di bawah tangan artinya nikah secara rahasia. Disebut rahasia karena tidak dilaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi Muslim atau ke Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi non-Muslim.

Biasanya, nikah siri dilakukan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya, namun di pihak lain untuk rnenjaga agar tidak terjadi hal-ha yang tidak diinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.

Di antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan saksi.

Tetapi menurut mazhab Hanafi dan Hambali, wali itu syarat perkawinan dan bukan rukun perkawinan. Jika sy'arat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika nikah siri digelar, maka sah menurut agama (Islam). Namun apabila sebuah perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPNIKUA), maka perkawinan itu tidak mendapat perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif, bahkan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan[7].

Menurut lembaga yang bergerak di bidang peranan wanita, Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPl)[8]:

"Secara Hukum Positif, nikah siri tidak lengkapnya suatu perbuatan hukurn karena tidak tercatat secara resmi dalam catatan resmi pemerlntah. Demikian juga anak yang lahir dari pernikahan siri ini, dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh Negara melalui akte kelahiran.

Perkawinan yang tidak tercatat baik di KUA atau Kantor Catatan Sipil tidak mendapat perlindungan hukum. Artinya, ketika di kemudian hari perkawinan nikah siri ini mengalami peristiwa perceraian, sengketa warisan dan lain-lain, para pihak tidak dapat mengajukan perkara tersebut ke ke Pengadilan Agama.

Serta berisiko mendapat stigma yang jelek dari masyarakat karena dianggap nikah siri dianggap tabu merupakan bentuk penyimpangan sosial

Padahal tujuan nikah sebagaimana yang difirmankan Allah SWT

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda yang nyata bagi orang-orang yang suka berpikir”.[9]

Nikah sirri di Indonesia sebenarnya telah lama berkembang. Para pelaku, sering kali beralasan untuk menghindari perbuatan zina. sama halnya dengan masyarakat Indonesia, para pemuda Arab lebih memilih zawaj misyar, demikian nama populernya, untuk menghindari dari nikah mut`ah alias kawin kontrak yang diharamkan oleh ijma` ulama Sunni.

Hanya saja, belakangan ini, nikah sirri di Indonesia sangat populer, terutama dikalangan artis yang seenaknya kawin-cerai hanya dalam hitungan hari. Selain itu, nikah seperti ini terkadang juga sering disalahgunakan karena tidak adanya I'tikad baik dari para pelakunya yang hanya mengambil status kehalalannya saja.

F. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

Langkah-langkah yang ditenpuh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu dengan melakukan hal-hal berikut:

1. Metode Penelitian

yakni metode dengan menggunakan pendekatan hukum, dan mengigring tema mengacu pada norma-norma hukum yang berlaku dan menjadi ketetapan dalam Hukum islam dan Undang-Undang serta teori yang berlaku sebagai penguat dan menjadi referensi baku dari penulisan skripsi ini.

2. Metode Penulisan

Metode dengan cara mendiskripsikan setiap realita yang berkembang di masyarakat untuk kemudian di analisa menurut kacamata hukum islam dengan mengkaji secara detail baik kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga menghasilkan kesimpulan yang menyeluruh dan paripurna

3. Tekhnik Penelitian

Mengikuti perkembangan berita melalui media massa, media elektronik dan internet, tanpa meninggalkan prinsip tabayyun melalui pengakuan pelaku sehingga menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan

4. Sumber Data

A. Data Primer

A. Al-Quran Dan Sunnah.

B. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

C. Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Topik Skripsi

B. Data Skunder

1) Buku-Buku Ilmiah Tentang Fikh Islam

2) Buku-Buku Keislaman Tentang Fatwa-Fatwa Ulama

3) Kitab-Kitab Hadits Yang Mu’tabar

4) Makalah, Artikel Dan Tulisan-Tulisan Di Internet

C. Data Tersier

1) Kamus Hukum Islam

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia

3) Kamus Bahasa Arab

5. Tekhnik Penulisan Data

Data primer dan data skunder diperoleh dari kepustakaan sendiri yang kemudian dikumpulkan dengan bahan skunder yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan metode yang biasanya dikenal dengan metode penafsiran outentik, gramatikal dan lain sebagainya sehingga menjadi tulisan skripsi.

Penulisan skipsi ini dilakukan dengan disertai sinkronisasi terhadap peraturan dan perundangan secara vertikal maupun horizontal yang dihubungkan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar ini dan tujuan skripsi ini lebih mengena dan mudah dipahami alurnya.

A. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Meliputi latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, langkah-langkah penelitian, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH SIRRI

berisi tentang pengertian nikah, tujuan pernikahan atau perkawinan, pengertian nikah sirri, nikah sirri dalam masyarakat Indonesia, istilah nikah sirri dalam kajian ilmu fiqh, bentuk-bentuk pernikahan yang diharamkan.

BAB III FENOMENA NIKAH SIRRI DAN STATUS HUKUMNYA

mencakup bentuk nikah yang diharamkan Islam, Status Hukum Nikah Siri, Faktor-faktor pendorong terjadinya nikah siri, dampak-dampak nikah sirri, beserta dalil-dalil yang berhubungan dengan nikah sirri.

BAB IV. NIKAH SIRRI MENURUT UU PERKAWINAN DI INDONESIA

Mencakup sejarah kontribusi hokum islam undang-undang di Indonesia, Nikah

Siri di Mata Undang-Undang perkawinan di Indonesia.

BAB V PENUTUP

yang meliputi studi kasus nikah sirri, evaluasi dan kesimpulan serta saran-saran


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH SIRRI

A. Pengertian Nikah Siri

Istilah pernikahan sulit dipisahkan dengan istilah perkawinan, bahkan kadangkala sebagian masyarakat menyamakan kedua istilah tersebut, istilah pernikahan terkesan lebih formal ketimbang perkawinan yang cendrung lebih umum dan memasyarakat, meski ada kemiripan kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam penggunaannya.

Perkawinan bagi sebagian masyarakat digunakan untuk mengungkapakan hubungan yang identik menjurus kepada hubungan intim suami istri, walaupun pada faktanya tidak selalu benar, karena untuk mengungkapkan maksud ini masyarakat memiliki istilah sendiri yang lebih menjurus dan tidak bias makna, tapi bisa dibenarkan jika digunakan untuk menyatakan hubungan jantan dan betina dalam dunia hewan, seperti ungkapan "perkembang biakan melalui perkawinan". Terlepas dari itu kata pernikahan dan perkawinan tak dapat dipisahkan karena saling terkait dan saling memaknai.

Dalam kontek nikah siri, kata nikah lebih umum digunakan ketimbang kawin siri, walaupun ada tapi sangat jarang didengar.

Tidak jauh berbeda dengan bahasa arab, dimana kata nikah ini berasal, nikah dan perkawinan sering diungkapkan dengan menggunakan lafadz an-nikah atau az zawaj.

Adapun akar kata nikah dari nakaha, yankihu, nikah yang memiliki tiga pengertian, diantaranya[10]:

1. Menurut bahasa, yakni kawin dalam pengertian untuk dunia hewan dan tumbuhan. Seperti dalam ungkapan berikut:

تناكحت الأشجار إذا تمايلت وانضمّ بعضها إلى بعض

Pohon-pohon itu melakukan perkawinan yakni saling menyatu dan berkumpul anatar yang satu dengan yang lain.

2. Menurut Ilmu Ushul, yakni bersetubuh atau aqad pernikahan, tergantung qarinah yang mengiringinya, jika ditemukan kata nikah diungkapkan baik dalam kitab atupun sunnah tanpa ada qarinah yang mengiringinya maka ia berarti bersetubuh, seperti dalam ayat

ولا تنكحوا مانكح أباءكم إلا ما قد سلف

"Janganlah kalian menikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian kecuali telah lama berlalu"

Maksud nya adalah nikah dalam artian menyetubuhi dan bukan hanya nikah dalam artian formal dalam bentuk aqad pernikahan.

Dan sebaliknya jika kata nikah diungkapkan disertai dengan qarinahnya maka itu berarti aqad dalam artian seremonial dalam aqad, seperti dalam ayat

حتى تنكح زوجا غيره

"sehingga ia menikah dengan laki-laki lain"

3. Adapun menurut istilah ilmu Fiqh, nikah yaitu akad sedangkan pengertian bersetubuh dan hubungan badan itu hanyalah metafora saja, hujjah atas pendapat ini adalah banyaknya oengertian nikah yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun Hadits sebagai akad. Bahkan dikatakan, bahwa nikah itu tidak disebutkan melainkan sebagaimana yeng tersebut dalam ayat diatas, yang tidak dimaksudkan dengan hubungan badan, karena syarat hubungan badan yang membolehkan rujuknya suami yang telah menceraikan istrinya hanya diterangkan dalam sunnah Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam.

Dengan demikian pengertian firman Allah SWT diatas adalah sehingga ia menjalin pertalian atau akad, maka dengan demikian menjadi boleh apa yang telah dilarang.

Terlepas dari itu semua rasulullah sendiri sebenarnya menerangkan bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak hanya sekadar akad. Akan tetapi, lebih dari itu, setelah pelaksanaan akad si pengantin harus merasakan nikmatnya akad tersebut. Sebagaimana dimungkinkan juga terjadinya proses perceraian setelah dinyatakan akad tersebut.

Melihat dari itu semua maka dapat dikatakan bahwa nikah adalah hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan suci keluarga melalui proses akad, sehingga hubungan yang sebelumnya diharamkan menjadi halal, dan secara otomatis menghubungkan keluarga dari kedua belah pihak yang menikah, sehingga terjadi periparan dan perbisanan antara keduanya.

Namun pada perkembangannya proses terjadinya sebuah pernikahan itu tidak selamanya berjalan seperti yang umum kita ketahui, dikarenakan berbagai sebab dan alasan, sehingga tak heran jika banyak kita dengar adanya praktek praktek pernikahan diluar ketentuan yang umum berlaku, termasuk diantaranya nikah siri.

Selanjutnya, kata "Sirri" juga berasal dari bahasa arab, dari kata "sirrun", yang berarti rahasia. dalam bentuk transitivenya, asarra yusirru israrun, artinya merahasiakan. jadi secara umum dapat kita pahami disini bahwa nikah sirri menurut orang Indonesia, -yang notabene mempopulerkan nya- berarti nikah yang dirahasiakan.

Walaupun nikah siri secara istilah sulit untuk didefinisikan dan memiliki makna yang bias, karena beragamnya pemahaman dan bervariasinya praktek nikah kategori ini dilapangan yang intinya merahasiakan pernikahan tersebut, baik secara formal, dengan tidak mendaftarkan pernikahan tersebut ke pihak KUA (Kantor Urusan Agama) yang dalam hal ini perwakilan dari Negara. Maupun sosial, dengan tidak mengadakan walimah atau resepsi yang lazimnya diadakan supaya orang mengetahui keabsahan hubungan pernikahan tersebut secara agama.

Jika kita ambil definisi nikah siri dengan merujuk UU perkawinan no.1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (2) termaktub: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Pencatatan nikah ini dilakukan dua institusi, yaitu pegawai pencatat di KUA bagi WNI muslim dan Pegawai Pencatat Nikah di kantor Catatan Sipil. Sebagaimana tertuang dalam PP no. 9 Tahun 1975 dan no.1 Tahun 1974.

Adapun dalam buku beberapa masalah tentang hukum acara perdata pengadilan agama disebutkan : "yang dimaksud disini (nikah bawah tangan) adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak didaftarkan pada pegawai pencatat nikah seperti yang diatur dalam UU No.1 tahun 1974".[11]

Namun ada pula pendapat lain dari salah seorang cendikiawan muslim Mahmud Syaltut. Ia mendefinisikan nikah siri adalah sebuah akad nikah yang dilakukan tanpa wali, tanpa walimah, tanpa saksi dan tanpa penulisan dalam buku resmi, pasangan ini hidup dalam kondisi status perkawinan yang dirahasiakan.[12]

Sedang menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima' Ulama Se-Indonesia ke-II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. menjelaskan bahwa:

"Nikah siri adalah pernikahan yang telah memenuhi semua memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku"

Kesimpulan sementara dikarenakan ada perbedaan pengertian nikah siri versi Indonesia dan versi ahli hukum islam, untuk itu disini bisa kita golongkan bentuk kerahasiaan dalam pernikahaan jenis ini, yang mana kesemuanya kalau kita cermati memiliki sifat yang sama, yaitu "dirahasiakan" tapi secara subtansi berbeda, secara otomatis memiliki konsekwensi hukum yang berbeda dimata syari'at islam pula, diantaranya:

Pertama :

Merahasiakan akad dan resepsinya, artinya hanya antara si laki-laki dan perempuanlah yang mengetahui perkawinan mereka bahakn wali perempuanpun tidak mengetahui hubungan ini, Untuk kategori ini jelas haram secara syar'i karena sama dengan berzina, lebih kita kenal dengan istilah kumpul kebo, nikah bawah tangan, kawin kontrak

Kedua :

Merahasiakan resepsi atau walimah pernikahan, walaupun ia mendaftarkan pernikahan mereka tapi hanya kedua belah pihak saja yang mengetahui hubungan pernikahan ini. Dikarenakan beberapa hal, baik ekonomi, sosial dan lain-lain yang hanya diketahui oleh pihak-pihak bersangkutan. Nikah jenis ini juga secara hukum jelas ke absahannya karena memenuhi semua rukun dan administrasi yang berlaku.

Ketiga :

Merahasiakan akad dan resepsi (walimah), yakni hanya cukup dengan adanya wali, saksi, tetapi tidak mendaftarkannya ke KUA (Kantor Urusan Agama) juga tidak mengadakan resepsi atau walimah.

Maka penulis berpendapat bahwa kategori terakhirlah inilah yang lebih tepat - sebagai mana yang dipahami oleh masyarakat umum - untuk disebut dan diistilahkan dengan nikah siri. Sehingga dapat menghilangkan pengertian yang bias yang selama ini sulit dipahami dan di mengerti.

.


B. Nikah Siri Dalam Masyarakat Indonesia

Keluarga sudah seharusnya menjadi benteng pertama dan terakhir bagi orang tua untuk mempertahankan dan mewarisi nilai-nilai moral pada generasi muda mereka, baik cara pandang, pola piker, pendidikan, mental dan terutama moral.

Dalam komunitas Islam Sunni seperti di Indonesia[13], nikah siri memang tidak mendapatkan tempat, pernikahan sebagai cara yang sah untuk membentuk mahligai rumah tangga dan diyakini sebagai tempat untuk mendapatkan ketenangan dan kasih saying dalam hidup sangat bertolak belakang dengan nikah siri, yang dianggap menyimpang dan selalu menjadi bahan kecurigaan di masyarakat, dimana pada akhirnya justru mendatangkan ketidaknyamanan dan konflik batin yang berkepanjangan dalam diri pelaku dan anak-anak mereka.

Hingga penghujung tahun 60-an kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas yang mendiami bumi pertiwi ini, cukup sensitive dengan hal-hal baru yang bersifat dekstuktif dan meyimpang, karena pada dasarnya hukum sosial yang berlaku dalam membentuk cara pandang dan sikap masyarakat Indonesia ketika itu adalah hukum Islam, walaupun bukan dalam bentuk legalitas formal Undang-Undang Negara, tapi sangat efektif, karena salah satu fungsi hukum islam adalah sebagai pengendali sosial (kontrol sosial)[14]

Sikap ini memang sudah mengakar dalam diri penduduk Indonesia bahkan kaum imprealis Belanda yang paling lama menjajah Indonesia sakalipun menyadari akah hal itu. Hal ini dikuatkan lagi dengan teori lodewijk Willem Christian Van Den berg yang berpendapat bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, jika orang itu beragama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya dan mempengaruhi sabagain besar pandangannya dalam hidup bermasyarakat, menurutnya orang islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan adat. Teori Van Den Berg terkenal sebagai teori reception in Complexu.

Untuk mengatasi hal ini pemerintah Belanda yang diwakili oleh Mr. Scholten Van Oud Haarlem, ketua komisi undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda bersikap:

"Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga berlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap orang pribumi, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka dapat tingggal dalam lingkungan (hukum) agama serta adapt istiadat mereka."[15]

Masyarakat cendrung akan segera mereaksi ketika melihat hal-hal baru yang dipandang merusak, mendatangkan hal-hal negative, seperti halnya budaya permisivisme, free sex, dan lain sebagainya yang sedang menjangkiti masyarakat barat, namun itu semua tidak serta merta membuat mereka latah untuk meniru gaya hidup trend tersebut, disamping memang pertukaran budaya dan lalu lintas komunikasi yang masih minim, ikut membantu lambannya proses tansformasi dan westernisasi masyarakat Indonesia demi menjaga diri, keluarga dan lingkungan dari perilaku menyimpang.

Hal tersebut tak berlangsung lama, perlahan-lahan kepribadian itu mulai luntur diawali dengan digemakannya pembangunan di segala bidang, banyaknya mahasiswa yang belajar ke luar negri, arus informasi dan media massa yang sangat gencar, dengan melupakan pembangunan spiritual, yang makin hari makin memudar.

Pada awalnya nikah siri di Indonesia mulai berkembang sejak dekade 1970-an yang awalnya ditandai dengan realitas yang terjadi di daerah Kalimantan. Ketika itu pemerintah iIndonesia memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan asing yangakan menebangdan mengelola kayu. Bisnis usaha ini membutuhkan banyak pekerja, tidak saja yang ada id dalam negri tetapi juga mencakup tenaga kerja asing yang datang sendiri tanpa disertai keluarga mereka. Keadaan ini mnyebabkan kebutuhan bilogis mereka yang harus disalurkan, istri-istri mereka jauh berada di negaranya masing-masing.

Sebagai salah satu usaha memenuhi hasrat itu mereka mendekati perempuan-perempuan penduduk sekitar pabrik, tidak sedikit dari mereka yang ingin menikahi perempuan-perempuan itu. Ternyata pernikahan itu tidak mudah dilakukan karena harusmelalui prosedur hukum yang tidak mudah, mengingat mereka berada di jalur hukum yang berbeda dan juga kebanyakan dari mereka menganut agama yang berbeda pula dengan kebanyakan penduduk setempat. Jalan yang mungkin ditempuh adalah melakukan pernikahan secara siri (bawah tangan) melalui mediasi ulama dan kiyai di daerah yang berfatwa bahwa akad nikah tetap sah walaupun tidak terdaftar di KUA setempat.[16]

Nikah siri juga marak dalam masyarakat yang masih dalam kondisi kekurangan dan juga di dukung oleh persepsi perempuan-perempuan setempat yang menganggap jika bisa menikah dengan tenaga kerja asing, kehidupan ekonomi mereka akan dapat lebih meningkat.


C. Istilah Nikah Siri Dalam Kajian Ilmu Fikh

Dalam khazanah ilmu fikh Istilah nikah sirri, bukanlah suatu yang baru. Terbukti dalam bebarapa kitab karangannya, para ulama sudah lebih dahulu membahas tentang nikah jenis ini. Sehingga sebagai rujukan kitab-kitab tersebut sangatlah besar pengaruhnya dalam upaya ummat menetapkan hukum dan berdalil atas setiap masalah dan hal-hal baru yang dihadapi seiring dengan perkembangan zaman, sesuai dengan apa yang telah contohkan para Salafussahalih yakni dengan mengembalikannya kepada dua peninggalan Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wasallam, yakni, kitab dan sunnah.

Terbukti dengan ditemukannya lafadz nikah siri dalam bebarapa kitab-kitab karangan ulama Hadits dan fikh, diantaranya. Hadits yang diriwayatkan Imam Malik

وروي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أُتي بنكاح لم يشهد عليه إلا رجل وامرأة، فقال: "هذا نكاح السر ولا أجيزه ولو كنت تقدمت فيه لرجمته" (رواه الامام مالك)

"Dan diriwayatkan bahwa Umar bin khattab RA. Dihadapkan kepadanya perihal nikah dimana tidak ada yang menyaksikan kecuali, seorang laki dan seorang perempuan (kedua mempelai) lalu ia berkata ini adalah Nikah Sirri dan aku tidak membolehkannya, dan jikalau aku mengetahui hal ini nisacay akan aku cambuk" (H.R. Imam Malik)

Begitupula Imam Ahmad dalam Musnadnya juga telah menjelaskan tentang nikah siri dengan mengutip sebuah Hadits.

عن عمرو بن يحيى المازنى عن جده أبى حسن أن النبى -صلى الله عليه وسلم- كان يكره نكاح السر حتى يضرب بدف ويقال أتيناكم أتيناكم فحيونا نحييكم. (رواه أحمد)

Dari Amru bin yahya al-Mazini dari kakeknya Abi hasan bahwa nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam membenci nikah sehingga dipukul rebana dan dan dikumandangkan kata-kata, "kami datang, kami datang, kami datang, sambutlah kami, maka kami akan membalas (H.R. Ahmad)[17]

عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم مر هو أصحابه ببني زريق فسمعوا غناء ولعبا فقال ما هذا قالوا نكاح فلان يا رسول الله قال "كمل دينه هذا النكاح لا السفاح ولا نكاح السر حتى يسمع دف أو يرى دخان". (رواه البيهقي)

Dari Ali bin Abi Thalib RA: bahwa Rasulullah sedang berjalan dangan para di bani Zariq, lalu mereka mendengar nyanyian dan permaian, baliau berkata: apa ini, mereka berkata ini pernikahan si fulan ya rasulullah. Beliau berkata lagi sempurna agamanya, inilah yang dinamakan nikah bukan zina ataupun nikah sirri, sehingga terdengar suara rebana atau terlihat asap (H.R. Baihaqy)[18]

عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر (رواه الطبرانى)

Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam melarang nikah siri (H.R. Thabrani)[19]

عن داود بن حسين قال سمعت نافعا مولى بن عمر يقول ليس في الإسلام نكاح السر (رواه ابن أبي شيبة)

Dari Daud bin Husain berkata, aku mendengar Nafi' budak Ibnu Umar berkata tidak ada dalam islam nikah Siri (H.R. Ibnu Abi Syaibah)[20]

عن هشام بن عروة عن أبيه : ( أنه سمعه يقول : إن نكاح السر حرام .).

Dari hisyam bin 'Urwah dari Ayahnya berkata: sesungguhnya nikah siri itu haram (H.R. Imam Said bin Manshur).[21]

Masih banyak lagi komentar dan perkataan ulama dalam upaya menerangkan apa sebenarnya nikah sirri dengan mengutip Hadits-Hadits ma'tsur dari dari Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam.

Terakhir kami kutip pendapat Imam Hanafi .

فقال الحنفية : " نكاح السر ما لم يحضره شاهدان، أما ما حضره شاهدان فهو نكاح علانية لا نكاح سر، إذ السر إذا جاوز اثنين خرج من أن يكون سرا"

Nikah Sirri yaitu Nikah yang tidak dihadiri dua orang saksi, adapun nikah yang dihadiri saksi maka itu adalah nikah biasa (yang terbuka dan diketahuai umum) karena rahasia jika melebihi dua orang maka itu bukan lagi dinamakan rahasia[22]

Beginilah pendapat para ahli ilmu tentang nikah siri dan inilah yang dipegang oleh jumhur ulama. semua sepakat bahwa hukum nikah jenis ini adalah HARAM

Berangkat dari persoalan ini maka perlul kiranya kita dudukkan permasalahan ini dalam kontek yang sebenarnya, sehingga bertemu antara apa yang dipahami salafu shalih dengan apa yang terjadi di Indonesia hari ini, karena ketetapan hukum atas sesuatu harus disesuaikan dengan 'illahnya[23]. Demi terpeliharanya kita dari perbuatan menghukumi sesuatu tanpa ilmu dan landasan yang benar.

Seperti pada pembahasan terdahulu bahwa nikah sirri menurut masyarakat Indonesia adalah pernikahan dengan melengkapi semua rukunnya tapi tidak mendaftarkannya administrasi pernikahan tersebut ke institusi yang berwenang dalam hal ini (KUA).

Dari sisi ini dapat dipetik kesimpulan bahwa pada hakekatnya nikah sirri yang dipersoalkan sama, namun berbeda dalam istilah.

Karena nikah sirri yang dipahami ulama bagi masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan istilah kumpul kebo (tanpa tahu asal istilah ini dari mana). Dalam hal ini secara keseluruhan masyarakat telah sepakat akan tercelanya dan keharaman pernikahan seperti ini baik secara adat dan budaya ketimuran yang berlaku di Indonesia maupun secara syari'at yang berlaku bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, karena hal ini sama dengan perbuatan zina.

Sedangkan istilah Nikah sirri yang dipahami secara keindonesiaan hanya meminjam istilah secara bahasa saja, sirrun berarti rahasia, bukan essensinya seperti yang dijelas Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dalam Hadits-Hadits dan dijabarkan para ulama. Hal dapat disamakan dengan point yang menjadi perdebatan dikalangan ulama dengan menggunakan lafadz "kitman", yakni merahasiakan akad nikah. Wallahu A'lam.


BAB III

FENOMENA NIKAH SIRI DAN STATUS HUKUMNYA

A. Bentuk-Bentuk Nikah Yang Diharamkan Dalam Islam

Pernikahan berikut tatacaranya sangatlah beragam dan telah ada jauh sebelum Islam lahir, sehingga tidak heran jika ada diantara bentuk-bentuk pernikahan tersebut yang tidak sesuai dengan syari'at Islam yang hanif maka konsekwensinya haruslah ditetapkan hukum keharamannya, apalagi jika pernikahan atau perkawinan tersebut muncul ketika Islam telah ada dan telah meletakkan dasar-dasar hukum .

Keharaman nikah ini sebenarnya juga memiliki banyak ragam, seperti menikahi ibu juga akan dihukumi haram, menikahi saudara kandung, menikahi saudara sepersusuan, dll. Namun hal itu bukan disebabkan proses nikah yang tidak sesuai syari'ah sehingga didiharamkan tapi masalahnya terletak pada orang-orang yang dinikahi, menurut ketentuan, mereka-mereka itu diharamkan untuk dinikahi karena masih satu nasab dan sedarah[24], dan ini bukan yang dimaksud oleh penulis.

Yang dimaksud disini adalah bentuk-bentuk pernikahan atau perkawinan yang diharamkan oleh jumhur ulama dilihat dari proses terjadinya pernikahan itu sendiri beserta pemenuhan akan syarat dan rukunnya sesuai ketetapan syariat berdasrkan dalil-dalil quran dan Hadits, perkawinan jenis ini sangat banyak melihat beragamnya suku, bangsa dan adat istiadat serta kepantingan-kepentingan yang ada dibalik itu semua. diantaranya:

Disini kami akan membaginya kedalam dua ketegori menurut periode munculnya dengan datang Islam.

A. Zaman Sebelum Islam

1. Nikah Khadn (Laki-laki piaran, Gigolo)

Yakni perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran[25].

Selanjutnya adalah pernikahan sebagaimana yang dikutip Imam Ad-Daruquthuni dalam Hadits dari Abi Hurairah r.a., bahwa Aisyah r.a. menyebutkan empat macam perkawinan pada masa jahiliyah[26], yaitu:

2. Perkawinan Melalui Pinangan

Seorang laki-laki meminang melalui seorang laki-laki yang menjadi walinya atau langsung kepada perempuan yang akan dinikahi, lalu ia menyerahkan maharnya, kemudian menikahinya. pernikahan in sama dengan pernikahan yang kita kenal sekarang.

3. Perkawinan Pinjam (Gadai)

Seorang suami berkata kepada istrinya sesudah bersih dari haidhnya, “Pergilah kepada fulan untuk berkumpul dengannya.” Sedang suaminya sendiri berpisah daripadanya sampai ternyata istrinya hamil. Sesudah terbukti hamil, suaminya dapat pula menggaulinya, kalau dia suka.

Perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang pandai. Oleh karena itu, perkawinan demikian disebut dengan ‘perkawinan mencari keturunan yang baik’ (bibit unggul).

4. Pernikahan sejumlah laki-laki secara Bersama-sama Menggauli Seorang Perempuan

Manakala perempuan itu nantinya hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa malam, ia kirimkan anak itu kepada salah seorang di antara mereka, dan ia tidak dapat menolaknya, sampai nanti mereka berkumpul di rumah wanita tersebut, dan wanita itu lalu berkata kepada mereka. “ Kalian telah tahu masalahnya, saya telah melahirkan anak ini, dan hai fulan, anak ini adalah anakmu,” dan si fulan tidak dapat menolak.

4. Menikah Dengan Perempuan Perempuan Yang Tidak Menolak Untuk Digauli Oleh Banyak Lelaki

Mereka ini adalah para pelacur. Di depan rumah mereka dipasang tanda agar mudah diketahui, dan siapa yang mau, boleh masuk. Bila di antara mereka ada yang hamil, semua laki-laki yang pernah datang kepadamya berkumpul dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti bayi yang dilahirkan, anak siapakah dia. Lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya , dan tidak boleh di tolak. Ketika Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam, di angkat menjadi rasul, seluruh jenis perkawinan itu dihapus kecuali kawin pinang saja. Namun, perkawinan pinang ini akan sah dalam pandangan Islam ketika rukun – rukun nikah dan syarat –syaratnya dipenuhi.

B. Zaman Setelah Kelahiran Islam

1. Nikah Syighar

Adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua pernikahan tersebut

Para ulama telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda pendapat mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat nikah syighar tidak sah, berdasarkan dalil:

1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)

2. Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu, dia berkata Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar” Abu Hurairah radiallahuanhu berkata “Nikah syighar bekata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku’ ” Atau dia mengatakan “Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku“ (HR Muslim, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

3. Hadits dari Al Araj, dia berkata : Al Abbas bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan Abdurrahman dengan anak perempuannya, dan sebaliknya Abdurrahman juga menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya. Dalam kedua pernikahan itu keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan ini, Mu’awiyah menulis surat kepada Marwandan menyuruhnya untuk menceraikan pernikahan itu. Dalam surat itu Mu’awiyah berkata, “ini mereupakan nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam” (HR Abu Dawud)

5. Yang menyebabkan pernikahan ini tidak sah adanya persyaratan yang mengharuskan tukar menukar (anak atau saudara perempuan). Di dalam syighar terdapat suatu kekejian yang sangat besar, yaitu adanya pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.

2. Nikah Muhallil

Nikah muhallil adalah seorang laki-laki (perantara) yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian menceraikannya dengan tujuan agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.

Nikah ini (muhallil) termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang nikah muhallil:

1. Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan muhallalah (orang yang menyeru muhallil)“ (HR Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad).

Jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i -dalam salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits, at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian[27].

2. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia berkata “Tidaklah dilaporkan kepadaku mengeni seorang muhallil dan muhallalah melainkan aku akan merajam keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id bin Mansur).

3. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita yang sudah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan itu adalah zina“(HR Abdurrazaq).

3. Nikah Mut’ah

Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu, - sehari, dua hari atau lebih- dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.

Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia dihapus oleh Allah melalaui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan nikah mut’ah samapi hari kaiamat.

Terdapat perbedaan mengenai Hadits-Hadits yang menjelaskan tentang informasi waktu dihapuskannya nikah mut’ah. Diantara Hadits-Hadits shahih yang menjelaskannya adalah:

1. Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar

Diriwayatkand ari Ali bahwa dia pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alayhi wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan memakan daging keledai piaraan pada waktu perang khaibar ” (HR Bukhari dan Muslim).

Setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasalam memberi keringanan lagi dengan membolehkan nikah mut’ah. hanya saja informasi tentang keringanan ini tidak sampai kepada Ali bin abi Thalib, sehingga dia melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah shallallahu alayhi wasalam tentang diharamkannya nikah mut’ah pada peristiwa khaibar.

2. Nikah Mut’ah dihapus pada tahun penaklukan kota Mekah.

Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya, Subrah pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat penaklukan kota Mekah. Dia berkata: “Kami tinggal diMekah selama lima belas hari, lalu Rasulullah shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami menikah secara mut’ah. Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis dan aku tidak keluar (berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarangnya“(HR Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah memerintahkan kami menikah secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah ketiak kami memasuki kota Mekah dan kami tidak keluar dari kota Mekah sampai Nabi shallallahu alayhi wasalam melarangnya” (HR Muslim).

3. Nikah Mut'ah dihapus pada tahun Authas

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selaam tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah) kemudia beliau melarangnya” (HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radiallahuanhu, dia berkata “kami pernah menikah secara mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, hingga akhirnya Umar bin Khaththab melarangnya ketika terjadi kasus Amru bin Harits” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Hadits ini ditafsirkan, bahwa orang yang melakukan nikah mut’ah pada zaman Abu Bakar mungkin karena berita mengenai pengharamannya tidak sampai kepada mereka[28].

Pernikahan tahun ini (Authas) adalah pengharaman secara permanen sampai hari kiamat. Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terlanjur nikah mut’ah ? apa yang harus dilakukan ? Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan demikian dia harus bercerai. Sebab Nabi shallallahu alayhi wasalam menyuruh orang yang melakukan nikah mut’ah untuk menceraikan isterinya, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Subrah.[29]


B. Hukum NIkah Siri Menurut Hukum Islam

Dalam khazanah ilmu fikh Istilah nikah sirri, bukanlah suatu yang baru. Terbukti dalam bebarapa kitab karangannya, para ulama sudah lebih dahulu membahas tentang nikah jenis ini. Sehingga sebagai rujukan kitab-kitab tersebut sangatlah besar pengaruhnya dalam upaya ummat menetapkan hukum dan berdalil atas setiap masalah dan hal-hal baru yang dihadapi seiring dengan perkembangan zaman, sesuai dengan apa yang telah contohkan para salafussahalih yakni dengan mengembalikannya kepada dua peninggalan Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wasallam, yakni, kitab dan sunnah.

Perbincangan tentang nikah sirri di kalangan para ulama lebih mengemuka mengemuka ketika membahas masalah saksi - yang menyaksikan sebuah akad nikah, daripada ketika membahas masalah wali, karena keberadaan wali lebih mengikat, namun diberikan alternative ketika seseorang tidak mempunyai wali karena alas an tertentu, atau keadaan tertentu. dll.

Berbeda dengan saksi dan publikasi nikah, perbincangan masalah ini sangat panjang dan sangat urgen untuk di tarjihkan, mana yang lebih kuat alas an diantara kelompok yang berbeda pendapat tersebut.

Para ulama berselisih tentang hukum keharusan adanya saksi dalam pernikahan, agar lebih sistimatis, penulis akan merinci sebabnya penyebab perselisihan pendapat ini. Pada dasarnya perselisihan ulama dalam masalah ini berkisar dalam dua hal:

  1. Dalam hal apakah keberadaan saksi dalam pernikahan ini termasuk hukum syar'i yang harus dipenuhi atau hanya sekadar menghindari fitnah agar masyarakat tidak mengingkari pernikahan tersebut. Yang kita kenal dalam ilmu ushul dengan saddz zara'i, yakni menghindari bahaya yang lebih besar
  2. Dalam hal shahih atau tidaknya Hadits yang menyatakan tentang keharusan adanya wali dalam sebuah pernikahan.

Untuk keluar dari perdebatan ini penulis akan mencoba menjabarkan penyebab pertama, yaitu apakah keberadaan saksi merupakan hukum syar'i atau hanya sadduz zara'i.

Secara otomatis yang menganggap ini adalah hukum syar'i akan menetapkan bahwa saksi wajib. Diantara mereka yang berpendapat seperti ini yaitu Imam Syafi'I, Imam Hanfi, Imam Ahmad, dan dari kalangan shahabat yaitu Umar bin Khattab, 'Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin 'Abbas, dan dari kalangan tabi'in yakni Sa'id bin Musayyib, Jabir bin Zaid, Hasan an-Nakho'I, Qotadah, Imam Tsauri dan al-Auzai. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.

Adapun yang menganggap ini hanyalah bentuk sadduz zarao'i dan tidak bisa dijadikan syarat sahnya nikah, mereka itu Imam Malik, daud az-Zahiri, dari kalangan Tabi'in Hasan bin 'Ali, Ibnu Zubair, Salim dan hamzah anak Abdullah ibn Umar, Abdullah bin Idris, Abdurrahman Bin Mahdi, Yazid bin Harun, al-Anbari, Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir, Saad bin Laits, dan diriwayatkan olah Imam Ahmad bahwa Umar bin Khattab pernah melakukannya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Dalil kelompok pertama

Dalil kesatu

ما روي عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :" لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل" (رواه البيهقي) - وفى لفظ أخر بزيادة – " وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل وإن تشاجروا فالسلطان ولـي من لا ولي له"(رواه الدارقطنى )

Dari 'Aisyah radhiallahu 'Anha berkata: bahwa rasulullah shollahu 'alaihi wasallam bersabda: tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. Dan dalam lafdz yang lain dengan penambahan. dan pernikahan yang menyelisihi cara ini tidak sah, jika terjadi perselisihan diantara keduanya, maka penguasalah (pemerintah) yang menjadi wali bagi mereka yang tidak memiliki wali (H.R. ad-Daruquthni)

Hadits ini adalah nash yang jelas tentang batalnya nikah tanpa saksi sebagaimna tidak sahnya nikah tanpa wali.

Dalil kedua

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا نكاح إلا بولي وشاهدين ومهر ما قال أو كثر" ( رواه الطبراني )

Dari Ibnu 'Abbas radhiallahu 'Anhu berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil dan dengan mahar sedikit ataupun banyak. (H.R. Thabroni)

Dalil ketiga


وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا بد في النكاح من أربعة: الولي والزوج والشاهدين" (رواه الدارقطني)

Dari 'Aisyah RA. Berkata: bersabda rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam: dalam pernikahan harus ada empat hal wali, calon suami, dua orang saksi. (H.R. Daruquthni)

Dalil keempat


وروي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أُتي بنكاح لم يشهد عليه إلا رجل وامرأة، فقال: "هذا نكاح السر ولا أجيزه ولو كنت تقدمت فيه لرجمته" (رواه الامام مالك)

Dan diriwayatkan bahwa Umar bin khattab RA. Dihadapkan kepadanya perihal nikah dimana tidak ada yang menyaksikan kecuali, seorang laki dan seorang perempuan (kedua mempelai) lalu ia berkata ini adlah nikah sirri dan aku tidak membolehkannya, dan jikalau aku mengetahui hal ini nisacay akan aku cambuk (H.R. Imam Malik dalam Muwattho')

Imam Zarkasyi mengatakan: "dan persyaratan adanya saksi dikhususkan dalam pernikah –wallahu 'alam- dan tidak dalam hal-hal lain, karena dalam pernikahan menyangkut hak orang selain suami istri, yakni anak"[30]

Dan kelompok ini juga berkata: "bahwa persyaratan adanya saksi dalam nikah lebih ditekankan ketimbang dalam jual beli, karena nikah juga menyangkut hak selain yang melakukan akad yakni anak, agar bapaknya tidak mengingkarinya sehingga hilanglah nasabnya, dan hal ini tidak ada dalam jual beli."[31]

"Disamping itu persyaratan adanya saksi dalam akad nikah sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga kemaluan, dan demi menjaga pernikahan dari pengingkaran (dari kedua belah pihak)" [32]

Dalil kelompok kedua

Dalil kesatu

Keumuman firman Allah yang berbunyi :

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

"Nikahilah yang wanita yang kalian senangi". Dalam perintah ini Allah tidak menyebutkan keharusan adanya saksi, nash ini tetaplah pada keumuman lafaznya, tanpa mensyaratkan kesaksian. (Q.S. an-Nisa': 3)

Dan ayat

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

"Wahai orang yang beriman penuhilah akad-akad itu". Dan nikah termasuk akad yang wajib dipenuhi tanpa keharusan adanya saksi. (Q.S. al-Maidah: 1)

Dalil kedua

عن أنس بن مالك رضي الله عنه: "اشترى رسول الله صلى الله عليه وسلم جارية بسبعة

أرؤس، فقال الناس: ما ندري أتزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم أم جعلها أم ولد؟

فلما أراد أن يركب حجبها فعلموا أنه تزوجها"

Dari Anas bin Malik RA. bahwa Rasululah Shollallahu 'Alaihi Wasallam membeli seorang budak perempuan seharga tujuh dirham, lalu orang-orang berkata: "kami tidak tahu apakah beliau akan menjadikannya istri atau hanya pengasuh anak", lalu ketika beliau ingin menaiki hijabnya maka tahulah mereka beliau telah menikahinya. (H.R. Muslim)

Dengan demikian mereka berdalih bahwa, tdaklah para sahabat menyaksikan akan nikah rasul tersebut kecuali dari balik hijab sehingga dapat dipahami tidak wajibnya saksi dalam nikah[33].

Ibad bin Sinan meriwayatkan bahwa rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : "tidakkah engkau mau aku nikahkan dengan Aminah binti Harits, Ia menjawab: ya, lalu beliau berkata: aku telah nikahkan engkau". Dan hal ini tidaklah disaksikan orang lain.[34]

Dan Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Thalib yang menikah putrinya Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab[35]

Untuk mendiskusikan hujjah-hujjah dari kedua kelompok diatas, akan kita paparkan komentar para ulama dalam hal ini, bahkan sebagian dari mereka ada mendhaifkan Hadits-Hadits tentang kewajiban adanya saksi.

Komentar kelompok pertama.

Semua saling mendukung dan menyapakati keshahihan Hadits 'Aisyah yang diriwayatkan Daaruquthni.

Ibnu Hibban berkata tentang Hadits 'Aisyah yakni tidak sah berhujjah dengan selain Hadits ini.[36]

Dan ibnu Mulqin menambahkan walaupun ada Hadits selain Hadits 'Aisyah tapi semuanya Dha'if dan tidak perlu dijadikan hujjah.[37]

Auzai berkata: Hadits 'Aisyah ini menolak pendapat Ibnu Mundzir yang mengatakan tidak ada yang shahih dalam masalah keharusan adanya dua saksi dalam nikah.[38]

Albani mengomentari tentang hal ini: "sesungguhnya hadits dari jalur Daaruquthni ini shahih"[39]

Imam Syafi'I rahimahullah : kendati Hadits tentang hal ini munqathi' tapi banyak.ahli-ahli ilmu berhujjah dengannya[40]. Dan Imam adz-Zahabi menshahihkan sanadnya.[41]

Komentar kelompok kedua

Imam Ahmad Rahimahullah berkata tenatang Hadits Maimun, tidak ada satupun Hadits yang tetap dalam masalah kewajiban adanya dua orang saksi.[42]

Ibnu Mundzir berkata: tidak ada khabar yang dapat ditetapkan sebagai hujjah dalam masalah kewajiban adanya dua orang saksi dalam nikah.[43]

Ibnu taimiyah berkata: "dalam hal pensyaratan dua orang saksi dalam nikah tidak ada Hadits yang tetap, baik dalam kitab-kitab Hadits shahih, kitab sunan maupun musnad-musnad."[44]

Setelah pemaparan diatas perlu ditegaskan yang lebih rajih diantara kedua pendapat tersebut. Melihat beberapa alasan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama lebih kuat yakni disyaratkannya kesaksian dua orang saksi dalam pernikahan – wallahu 'alam- dengan alasan sebagai berikut:

  1. Hadits tentang pensyaratan dua saksi sangat banyak melalu jalus yang beragam, dan sedikit yang menyatakan bahwa ketetapan tersebut menggunakan Hadits hasan.
  2. Pensyaratan dua saksi tersebut memiliki banyak mamfaat
    1. Untuk penegasan terhadap pernikahan dan menjaga dari pengingkaran dari salah satu pihak, khususnya kita sekarang berada di zaman yang kebanyakan orang menganggap enteng semua hal dan pertemuan laki-laki dan perempuan dalam pergaulan yang kelewat batas
    2. Ketetapan dalam kaidah ushul dikalangan para ulama bahwa hukum asal dalam hal kemaluan adalah haram. Dan apabila terjadi pertentangan dalam dua hujjah, dimana yang satu menghalalkan dan satu lagi menghalalkan maka yang diambil adalah pendapat yang mengharamkan[45].
    3. Perpedaan pendapat dalam maslah ini terfokus pada cara mengumukan akad pernikahan maka mensyaratkan adanya saksi lebih utama daripada mentiadaknnya sama sekali.
    4. Dengan tidak mensyartakan dua orang saksi akan lebih dekat kepada penyebarnya nikah sirri di kalangan masyarakat.

Sejalan dengan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan Fatwa kehalalan nikah sirri dan nikah bawah tangan, "Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif"".[46]


C. Faktor – Faktor Pendorong Terjadinya Nikah Siri

Pernikahan pada dasarnya adalah sebuah ibadah yang oleh nabi dianggap sebagai salah satu sunnahnya, karena beliau sendiri menjalankan hal tersebut sebagaimana halnya manusia biasa, tidak ada yang membedakan beliau dalam kebutuhan dasar manusiawi yang satu ini, hanya saja beliau diberikan kekhususan, yakni kemampuan untuk berlaku adil dalam pemenuhan hak-hak lahir seorang istri, sehingga beliau – sebagaimana yang kita ketahui – memiliki sebelas orang istri[47], melebihi batas kebolehan yang diberikan kepada ummatnya.

Pernikahan disamping sebagai sebuah sunnah yang patut dicontoh dan diteladani juga merupakan fitrah dasar, dimana manusia - tidak dapat tidak - mesti membutuhkan pendamping hidup, untuk tempat berbagi, mendapatkan ketenangan, mencurahkan kasih sayang[48], dan lain sebagainya. karena memang Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan mereka dalam keadaan seperti ini, sehingga Dia lebih mengetahui apa yang bergejolak dalam hati manusia, apa yang mereka ingkari, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka khianati di hati dan apa yang bergejolak dalam hati.[49]

Namun dalam perkembangannya manusia mendapatkan tantangan dan rintangan yang bersifat social dari orang-orang sekitarnya, termasuk nikah siri juga merupakan dampak dari hukum masyarakat yang sudah mendarah daging ini.

Kita masih ingat bagaimana Rasulullah mendapat teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta'alaketika beliau memendam rasa terhadap Zainab Binti Jahsy, padahal manikahinya adalah suatu hal yang dihalalkan olah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena ia sudah diceraikan oleh suaminya, Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasululllah[50]. kadang hokum masyarakat sangat terasa berat bagi seseorang secara psikologis melebihi beratnya ketetapan syar'i. Sehingga sedaya upaya mereka mencari cara untuk tetap melakukan namun tidak ingin di ketahui secara umum oleh masyarakat.

Ada beberapa hal yang kami kaji merupakan penyebab utama maraknya nikah sirri dikalangan masyarakat, semuanya cendrung mengakar dalam benak masyarakat namun sebagian penyebab itu tidak bersumber dari Islam bahkan jauh dari warna Islam.

Majallah Alwa'yu al-Islami Kuwait, pernah memaparkan beberapa hal ini, diantaranya:

1. Takut jika diketahui oleh Istri pertama, hal ini apabila ia memiliki dua orang istri, hal ini terjadi dalam masyarakat yang memanggap bahwa memiliki istri lebih dari satu adalah sebuah dosa dan pelecahan terhadap perempuan

2. Tidak mampu memenuhi aturan-aturan dalam pernikahan secara resmi, apakah secara administrasi, atau adanya aturan yang mengikat seperti tidak boleh menikah dengan orang lain agama, dengan gadis yang dikategorikan dibawah umur, atau adanya aturan mengenai pemberian hak ganti rugi dan biaya hidup perbulan bagi istri yang diceraikan beserta anak-anaknya, dengan angka yang sangat tinggi, sehiingga bagi suami lebih memilih untuk menikah secara siri tanpa diketahui oleh istri pertama.

3. Ketidakmampuan untuk membiayai sebuah pernikahan ditambah lagi dengan adanya persyaratan dengan jumlah harga mahar yang sangat tinggi.

4. Banyaknya wanita yang suka berkeliaran dengan perhiasan dan dandanan yang mencolok sehingga membangkitkan syahwat, serta terjadinya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, pada puncaknya demi menghindari zina mereka melakukan nikah siri sebagai ajang legalisasi hubungan mereka tersebut[51].

Namun untuk kondisi Indonesia yang terjadi lebih komplek dan bervariasi, disamping factor kemajemukan masyarakatnya ditambah lagi dengan adanya aturan perundang-undangan perkawinan jauh dari warna islam, karena notabene bukan Negara Islam walaupun faktanya dominan warga negaranya beragama Islam.

Bahkan bagi sebagian kalangan itupun masih dianggap merendahkan hak-hak perempuan dimana mereka menyatakan bahwa poligami yang menjadi alternative dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tersebut merupakan bentuk subordinasi laki- laki terhadap perempuan karena semata-mata didasarkan pada superioritas dan kepentingan laki-laki. Perempuan dalam hal ini selalu dalam posisi sebagai obyek, apakah dalam status sebagai istri pertama maupun kedua, dan seterusnya.

Berangkat dari kenyataan diatas, jika nikah sirri dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial dalam masyarakat maka pasti ada faktor – factor substansial yang mendorongnya. Penulis menggaris bawahinya dalam empat hal yang berkaitan langsung dalam memicu timbulnya keinginan untuk melakukan nikah sirri, walaupun tak dapat dipungkiri masih banyak sebab-sebab lain yang tidak mengemuka diluar dari yang kami paparkan.

Diantara empat penyebab tersebut, yaitu:

Penyebab Pertama: Image yang buruk terhadap poligami dan UU yang mengikat

Poligami adalah syariat islam, mengingkari syariat berarti kufur, dengan merebaknya kegagalan rumah tangga pelaku poligami tidak serta merta menghapuskan hokum kehalalan poligami.

Pembentukan image yang buruk di masyarakat bahwa poligami atau kita kenal dikalangan ahli fikh dengan "Ta'addud Zaujat" secara tidak langsung kita lihat dikarenakan kegagalan rumah tangga orang yang berpoligami, seperti digambarkan anak terlantar dan kehilangan figure ayah, rumah tangga berantakan.

Tapi perlu juga diingat bahwa ini adalah akibat dari ketidak sanggupan suami yang dalam hal ini sebagai kepala rumah tangga untuk bertindak tegas, dan berlaku adil, sebagaimana yang diingatkan Allah dalam Quran[52], yakni adil dalam pengertian lahir dengan menyamakan semua istri dalam pemenuhan hak-hak mereka.

Kebolehan poligami bagi laki-laki kalau boleh dikatakan adalah fitrah dasar, Allah membolehkan berarti harus diyakini Allah Subhanahu Wa Ta'ala membolehkan ini bukan tidak berdasar, dan bahwa mereka mampu untuk melakukan hal itu Allah lebih tahu apa yang ada di dalam diri manusia, baik kecendrungan[53] dan gejolak[54] serta khianat[55] di hatinya. namun dalam hal poligami tetap dengan memberikan aturan fit and proper test, yaitu berlaku adil.

Sikap adil inipun tidak bisa datang dengan sendirinya, tapi membutuhkan ilmu tentang hal-hal yang berkaitan dengan keluarga terutama ilmu syari'at, karena tidak sedikit pemahaman akan agama didasarkan nafsu dan kebodohan belaka. Berpoligami dengan ilmu dan beristri satupun karena ilmu, artinya semua itu dilakukan dengan penuh kesadaran dan pemahaman yang mendalam.

Terlanjurnya image ini berkembang di masyarakat sehingga membentuk semacam keyakinan dan persangkaan umum walau pada kenyataan itu salah. Tidak dapat disangkal hal ini bagi sebagain orang yang ingin melakukan poligami akan menjadi rintangan dan ancaman, karena akan dianggap menyimpang, melakukan pelecehan terhadap wanita, dalam hal ini istri tua.

Terjadi konflik batin, disatu sisi ia ingin melakukan poligami disini lain ia melihat di depan mata ancaman dari orang sekitarnya, istri, mertua, tetangga, bahkan masyarakat secara keseluruhan yang tidak mengerti hakikat ajaran agama, atau kalaupun paham mereka mengingkari hal tersebut.

Sudah dapat diperkirakan, dalam posisi seperti ini maka jalan satu-satunya baginya adalah nikah sirri.

Kami tegaskan disini bagi orang yang ingin melakukan poligami: "Jangan takut, apakah engkau lebih malu kepada manusia ketimbang kepada Allah? Buktikan pada mereka bahwa engkau mampu berbuat adil, serta tidak melakukan semua itu kecuali atas dasar ilmu dan pemahaman yang benar.

Ingatlah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala

وتخفي في نفسك ما الله مبديه وتخشى الناس والله أحق أن تخشاه

"Engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. (Q.S. Al-Ahzab: 37)

Inilah tonggak awal penghapusan tabanni (adopsi anak dalam Islam) sehingga dengan status anak angkat tidak serta merta mengharamkan apa yang diharamkan antara bapak dan anak kandung.

Penyebab Kedua: Tingginya biaya pernikahan

Berbicara masalah biaya pernikahan kita akan langsung berpikir tentang Mahar atas lebih kita kenal dengan mas kawin, padahal tidak semuanya benar, yang penulis maksud biaya pernikahan disini adalah tradisi di masyarakat dengan mengadakan pesta besar-besaran, mengundang sekian banyak orang, menyewa gedung pertemuan dan lain sebagainya diluar yang disyari'atkan.

Adapun mahar - kalau memang ini dikatakan biaya pernikahan- dalam islam walaupun hukumnya wajib bagi suami terhadap isteri berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits tetapi sangat dipermudah dan diringankan sesuai dengan kemampuan laki-laki yang ingin menikah.

Firman Allah yang berbunyi :

"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) diantara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna)" (Q.S. al-Nisa' : 24)

Juga firman Allah yang berbunyi:

"Kawinilah mereka dengan seijin keluarga mereka dan berikanlah mas kawin mereka sesuai dengan kadar yang pas" (Q.S. al-Nisa': 25)

Adapun mengenai batas-batasnya (ukuran maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai batasan. Suami boleh memberikan mas kawin kepada isterinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan suami.

Pernah suatu kali Sahabat Umar bin Khattab ra. ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah telah berfirman :

"Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun". (Q.S. al-Nisa' : 20)

Kata "Qinthaar" dalam ayat ini bermakna: jumlah yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya seraya berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah"[56].

Tetapi walaupun demikian, agama tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin.

Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan ukuran mahar, mereka terbagi kedalam tiga pendapat:

Pertama, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.

Kedua, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.

Ketiga, Sedangkan ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini dan inilah yang lebih rajah diantara pendapat-pendapat sebelumnya, mendasarkan pendapat mereka pada ayat:

1. Dalil dari al-Quran Surat An-Nisa, ayat: 20

وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة إن الله كان عليما حكيما

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[57]

Kata "amwaal" yang berarti harta dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya inilah yang wajib diamalkan.

2. Hadits Rasulullah Shollallhu 'Alaihi Wa Sallam dari Sahl bin Said, Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah:

عن سهل بن سعد الساعدي : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم جاءته امرأة فقالت : يا رسول الله إني قد وهبت نفسي لك فقامت قياما طويلا فقام رجل فقال : يا رسول الله زوجنيها إن لم يكن لك بها حاجة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : هل عندك من شيء تصدقها إياه ؟ فقال : ما عندي إلا إزاري هذا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إن أعطيتها إزارك جلست لا إزار لك فالتمس شيئا فقال : لا أجد شيئا فقال : التمس ولو خاتما من حديد فالتمس فلم يجد شيئا فقال له النبي صلى الله عليه و سلم : هل معك من القرآن شيء ؟ قال : نعم سورة كذا وسورة كذا ـ السور يسميها ـ فقال له النبي صلى الله عليه و سلم : زوجتكها بما معك من القرآن . ( أخرج مالك )

Dari Sa'ad as-Sa'idi: bahwa suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan. Lantas Nabi berfikir agak panjang, Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi:

"Wahai Rasulullah, jika engkai tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku". Rasulullah berkata: "Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?" pemuda tersebut menyahut: "Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini". "Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu". Ia berkata lagi: "Sama sekali saya tak punya apa-apa". "Carilah, walau hanya cincin besi". Lanjut Rsulullah. Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi: "Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?"."Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur'an"[58].

Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekalipun, bahkan bacaan al-Qur'an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).

Penyebab Kedua: Dominasi Orang Tua

Pada dasarnya orang tua memiliki wewenang untuk membimbing dan menjaga keluarganya wabil khusus anaknya, kepada langkah yang tepat dalam mengambil keputusan, agar terhindar dari perbuatan yang menjerumuskannya ke dalam api neraka[59]. Namun hal itu mereka abaikan bahkan yang sangat menyedihkan mereka salah gunakan untuk mengebiri dan memaksa anaknya untuk mengikuti kehendaknya tanpa mempedulikan kemauan si anak.

Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sebagaimana dikutip dalam hadits [60]

Masuknya persoalan ini kedalam salah satu daftar penyebab terjadinya nikah sirri, seks bebas, kumpul kebo. Karena tidak sedikit anak muda yang secara biologis dan psikologis sudah matang tapi belum juga menikah karena calon suami atau istrinya tidak disetujui orang tua, atau karena belum selesai kuliah, dan alasan - alasan yang tidak syar'i, dikatakan tidak syar'i karena alasan tersebut tidak termasuk kedalam kategori yang dilarang dalam Islam. Seperti factor ekonomi, perkerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya cendrung menjurus kepada unsur materi dan lahir.

Padahal Rasulullah telah bersabda:

عن أبي حاتم المزني قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

"Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalo engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas."

(H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

Dalam sebuah keluarga fungsi orang tua adalah sebagai pembimbing, pengontrol dan penyaring agar keluarga memiliki visi yang terarah hal ini sangat dibutuhkan apalagi menimbang pergaulan muda - mudi di zaman sekarang sudah sangat berlebihan, sehingga melampai batas-batas norma yang berlaku, maka dalam keadaan begini orang tua haruslah berperan aktif untuk menyelamatkan keluarganya dari fitnah akhir zaman ini.

Termasuk juga dalam konotasi ini adalah dengan tidak melarang anaknya untuk menentukan langkah hidupnya selagi dalam batas-batas kewajaran, atau sebaliknya memaksa mereka untuk mengikuti kemauan orang tua yang tidak mereka inginkan.

Konotasi diatas tentunya untuk tujuan yang positive demi membendung generasi muda dari lembah zina yang membelenggu hampir diseluruh lini kehidupan, maka dengan demikian fungsi ini tidak bisa terjemahkan kedalam superioritas yang dominant dimana anak tidak mempunyai hak untuk memilih, berpendapat dan menentukan langkahnya.

Dengan fungsinya sebagai pengontrol dan penyaring inilah seharusnya orang tua menyadari dan memahami apa yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh anaknya di usia yang sudah cukup matang, sehingga yang terjadi justru sebaliknya, mereka mencari pelampiasan dan penyaluran yang – Naudzu Billah – sangat dimurkai islam, yaitu zina.

Tidak heran bila banyak kita dengar lembaga-lembaga survey yang mengumumkan hasil-hasil penelitian tentang penyimpangan seksual generasi muda, seputar terjadinya kumpul kebo dikalangan mahasiswa dan mahasiswi, bak gunung es, fenomena ini adalah fakta yabg tidak disadari, atai kalaupun disadari dianggap remeh.

Hasil survey Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) terhadap Mahasiswa di Jokjakarta.

"Hampir 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Yang lebih mengenaskan, semua responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan. Tapi suka sama suka dan adanya kebutuhan.

Penelitian itu dilakukan selama 3 tahun mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660 responden yang berasal dari 16 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Yogya. Dari 1.660 responden itu, 97,05 persen mengaku sudah hilang keperawanannya saat kuliah.[61]

Maka saya sangat setuju sekali dengan gagasan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono di tahun 1983 dimana dalam sebuah tulisan beliau yang berjudul: "Bagaimana kalau kita galakkan perkawinan remaja? Menurut beliau pernikahan remaja adalah pilihan terbaik untuk menciptakan pergaulan yang baik dan sehat.

Gagasan beliau ini mendapatkan respon dari berbagai kalangan ketika diterbitkan dalam Harian Sinar Harapan, menariknya bagi kalangan yang tidak setuju beliau menjelaskan: "manaat menunda menikah memang meiliki mamfaat yang tidak terbantahkan tetapi jika pernikahan itu sangat diperlukan untuk mencegah bahaya yang lebih besar, maka lebih kiranya pencegahan bahaya itulah yang didahulukan.[62]

Sampai disini mungkin kita masih akan mengatakan bahwa Nikah Sirri mungkin lebih selamat, dilihat dari besarnya mudharat dan kerusakan yang ditimbulkannya.

Penyebab Keempat: Pudarnya Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.

Keluarga seperti yang telah gambarkan di awal sangatlah besar pengaruhnya bagi psikologi orang-orang yang hidup dan tumbuh di dalamnya, baik suami, istri terutama anak. Sebagai wadah vital tempat berbagi, mencurahkan kasih sayang[63] keluarga merupakan factor terpenting dalam kebahagian seorang muslim baik lahir maupun batin[64].

Sehingga jika unsur-unsur yang hanya bisa dirasakan oleh hati ini tidak terpenuhi maka nikah sirri pun bisa menjadi target pelarian tanpa ingin kehilangan keluarga pertama yang telah dibinanya selama ini.

Hal ini perlu sekali untuk disadari dan bahwa nikah sirri bisa jadi awalnya bukan keinginan tapi berubah ketika melihat kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak lagi memperhatikan Hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai peranannya. Sebagaimana banyak kita ketahui dari al-Quran dan Sunnah.

Allah berfirman dalam al-Quran:

ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Baqoroh: 228)

Ketika menafsirkan ayat diatas, Ibnu Katsir mengutif hadits berikut:

عن معاوية بن حيدة القشيري، عن أبيه، عن جده، أنه قال: يا رسول الله، ما حق زوجة أحدنا؟ قال: "أن تطعمها إذا طعمْتَ، وتكسوها إذا اكتسيت، ولا تضرب الوجه، ولا تُقَبِّح، ولا تهجر إلا في البيت" . عن ابن عباس قال: إني لأحب أن أتزيَّن للمرأة كما أحب أن تتزين لي المرأة؛ لأن الله يقول: { وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ } (رواه ابن جرير، وابن أبي حاتم).

Dari Mu'awiyah bin Hidah al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya berkata: Wahai rasulullah, apa hak seorang istri? Beliau menjawab: engkau beri ia makan jika engkau makan, dan memberinya pakaian jika engkau memakai pakaian, dan janganlah engkau memukul wajah, jangan menjelekkannya, dan janganlah engkau diamkan is kecuali didalam rumah. Dan dari Ibn Abbas berkata: sungguh aku sangat suka berhias untuk perempuan (istri) sebagaimana aku juga ingin ia berhias untuk ku, karena Allah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (H.R. Ibnu jarir dan Ibnu Abi Hatim)[65]


D. Dampak Nikah Dari Sudut Pandang Social Dan Individu

Pemaparan tentang dampak nikah sirri mungkin kami cukupkan dengan mengutip apa yang telah dipaparkan oleh sebuah Institusi Independent pemerhati masalah-masalah sosial, yaitu lembaga yang bergerak di bidang peranan wanita, Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPl)[66], ia menjelaskan:

"Perkawinan yang tidak tercatat baik di KUA atau Kantor Catatan Sipil tidak mendapat perlindungan hukum. Artinya, ketika di kemudian hari perkawinan nikah siri ini mengalami peristiwa perceraian, sengketa warisan dan lain-lain, para pihak tidak dapat mengajukan perkara tersebut ke ke Pengadilan Agama.

Dampak hukum yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi kalau ada perceraian, si isteri sulit untuk mendapatkan hak atas harta bersama mereka apabila si suami tidak memberikan. Selain itu, jika ada warisan yang ditinggalkan suami, karena suami meninggal dunia. Isteri dan anak akan sangat sulit mendapatkan hak dari harta warisan. Apalagi jika suami berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Walhasil baik isteri dan anak tidak berhak mendapat tunjangan apapun.

Menurutnya, sering juga dijumpai hak-hak anak-anak di keluarga yang melakukan nikah siri terabaikan. Karena pria yang melakukan nikah siri tidak hanya melalaikan tanggungjawabnya atas biaya pendidikan dan kebutuhan si anak. Tapi juga anak-anak yang lahir dari pernikahan siri biasanya akan kesulitan mendapat Akte Kelahiran, Kartu Keluarga sebab orang tuanya tidak memiliki Akta Nikah.

Nikah sirri ini dinilai tabu bagi masyarakat dan bentuk penyimpangan social. Stigma ini akan sangat mengganggu kenyamanan individu, psikologis maupun sosial, mengingat pergaulan dan kerjasama dengan orang lain tidak dapat dihindari karena manusia adalah makhluk social.


BAB IV

NIKAH SIRI DI MATA UNDANG - UNDANG

A. Kontribusi Hukum Islam Dalam Undang Undang Di Indonesia

Topik pembahasan ini sangat menarik karena disamping ingin menggali lebih dalam mengenai kontribusi hukum Islam dalam undang-undang di Indonesia, kita terlebih dahulu harus mendefenisikan Hukum islam tersebut dalam sebuah penjabaran yang real dan menyeluruh.

Maksud Hukum Islam disini Adalah Hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumbar dan ajaran Islam, yaitu 'Amaly berupa interaksi dangan sesame manusia, selain Jinayat atau pidana islam, Jadi segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni atau mahdhah tidak termasuk dalam pengertian hukum islam. Ringkasnya ia adalah hukum perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi ummat Islam yang sekaligus merupakan hukum terapan bagi peradilan agama.

Mempelajari sejarah hukum sama dengan mempelajari hukum itu sendiri. Hal ini berlaku juga bagi hukum Islam. Hukum islam telah berkembang begitu rupa sehingga lahirlah ulama-ulama mujtahid dengan karya yang hingga kini merupakan khazanah yang tidak ternilai harganya.

Penerapan hukum islam dalam semua bidang dapat kita lihat dinegara-negara yang dikenal sebagai Negara islam. Adapun khazanah sejarah hukum islam di tanah air memiliki ciri-ciri khas keindonesiaan yang mengandung muatan local.

Dalam hukum islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip yang solid, tidak berubah dan tidak diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qhot'iyyah dan merupakan jati diri hukum Islam, dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari dari nilai-nilai fundamental. Diantara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalam tujan hukum Islam yakni Maqasidus Syari'ah, yaitu kebahagian manusia dapat diwujudkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan, rahmat dan seterusnya.[67] Nilai-nilai kebahagiaan tersebut bersifat abstrak yang harus direalisasikan dalam bentuk nyata.

Disamping nilai-nilai yang fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Maka nilai instrumental terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai hukum Islam dari yang abstrak menuju yang riil. Proses transformasi ini sering disebut dengan proses operasionalisasi atau akualisasi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada tingkatan inilah kita bisa berbicara tentang dinamika hukum Islam, jadi di dalam hukum Islam terkandung nilai yang konstan karena sifatnya memang demikian dan sekaligus nilai-nilai dinamika sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan.

Dalam dimensi yang disebut terakhir ini hukum Islam bersikap adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.[68] Para ulama sepakat didalam menyimpulkan hukum Allah telah memberikan modal berupa wahyu (meliputi Qura'an dan Sunnah)[69] dan Ra'yu (akal), untuk mendapatkan maslahat yang menjadi tujuan syari'at.

Dalam perkembangannya ternyata peranan akal memainkan peranan yang tidak dapat diabaikan, akal merupakan alat untuk memahami wahyu baik secar tekstual maupun kontekstual, ketika kita mengahadapi hal-hal yang tidak dinyatakan oleh wahyu atau secara tegas tidak dinyatakan oleh wahyu. Seperti dalam ijtihad, isihsan, maslahah mursalah, penilaian terhadap Urf dan lain-lain.[70] Dalam kaitan nya sebagai dimensi instrumental peran akal disini tidak dapat diabaikan.

Para sejarawan berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada awal-awal abad jiriyah. Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu masyarakt mulim di Indonesia telah mengenal hukum Islam walaupun masih dalam tahapan permulaan. Setelah melalui proses panjang barulah berdiri kesultanan atau kerajaan Islam Samudra Pasai dipesisir Timur dan meluas ke Pantai Utara pulau jawa.

Ibnu Batutah, seorang pengembara dari Maroko, menuturkan didalam bukunya bahwa penduduk pulau-pulau yang dikunjunginya pada umumnya memeluk madzhab syafi'I, ia juga menuturkan pertemuannya dengan sutan Malik Dzahir Syah yang dilukiskannya sebagai raja atau sultan sekaligus Faqih, atau seorang faqih yang menjadi raja.

Pada zaman penjajah belanda, kita menjumpai bebrapa macam Instruksi Gubernur Jendral yang ditujukan kepada para Bupati, Khususnya di Pantai Utara jawa agar memberi kesempatan kepada para Ulama menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam, bahkan konon keputusan raja belanda (koninkelijk) no.19 tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian diumumkan staatsblad tahun 1882 no. 152 tentang pembentukan Pristerraad (pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham Receptio in Complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bag pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. Barangkali pendapat ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa warga pribumi yang muslim sangat taat menjalankan syari'at agamanya dengan segala totalitasnya. Sebagaimana perintah Allah Subhanallahu Wa Ta'ala dalam Al-Quran[71]

Walaupun selanjtnya teori ini ditentang oleh Snouck Hurgonje dkk, yang menganut paham teori Receptie yang intinya menyatakan bahwa hukum Islam di pandang sebagai hukum apabila telah diterima oleh hukum adat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah ini menyangkut maslah politik hukum belanda yang notabene kafir.

Namun, dengan segala kekuranganya dan kesederhanaan Pengadilan agama ketika itu ada sesuatu yang tak dapat dipungkiri yaitu berlakunya hukum Islam di tanah air, menurut doktri, Hukum hanya dapat berlaku apabila ditopang oleh tiga pilar penyangga. yakni :

    1. aparat hukum yang handal
    2. peraturan hukum yang jelas
    3. kesadaran hukum masyarakat yang tinggi

Jika dilihat kondisi ketiga pilar pada kurun dan waktu yang itu maka dapat disimpulkan bahwa pilar ertama dan kedua dalam kondi yang sangat memprihatikan, akan tetapi dengan tingginya kesadaran hukum masyarakat ketika itu, walaupun dengan agak tersek-seok mareka berhasil memancangkan tonggak sejarah.

Keadaan demikian sedikit banyak berlangsung juga pada masa penjajahan Jepang, sampai tiba saatnya bangsa kita memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. peristiwa ini merupakan tonggak sejarah bukan saj di bidang politik, ekonomi atau pendidikan, akan tetapi juga dibidang Hukum Islam

Terbukti dengan adanya nilai-nilai hukum Islam yang walaupun belum optimal dimasukkan oleh para penyusun Undang-undang yang notabene ketika itu dari kaum muslimin, perananan ini tidak dapat dipandang sebelah mata melihat kondisi politik dan kekuasan ketika itu yang selalu memarginalkan ummat Islam, diantara Undang-undang tersebut adalah:

a. Hukum keluarga, yang mencakup masalah aparat hukum yang dalam Hal ini KUA bagi warga muslim dan KCS (kantor catatan sipil) bagi warga non mulim, masalah perkawinan, saksi dalam talak, harta bersama (suami istri)

b. Masalah Peradilan, yang ditandai dengan adanya hakim wanita, yang saat itu begitu mendesak dikarenakan tugas utama pengadilan agama adalah menyelesaikan perkara perkawinan dan rumah tangga yang tidak bisa lepas dari peranan kaum wanita, para ibu.

c. Hukum kewarisan, seperti dengan pemberlakuan ahli waris pengganti, seperti cucu yang pada dasarnya tidak mendapatkan waris karena tergolong dzawil arham, jika ahli warits dzawil furudh masih ada. Seperti contoh kasus jika diantara ahli warits ada ibnl ibn serta ibn. Dalam kasus ini ibnul ibn terhalang oleh ibn.

Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. bahwa Undang-Undang Perkawinan yang mulai berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975 mempunyai 3 (tiga) ciri khas kalau dibandingkan dengan Undang-Undang atau hukum perkawinan sebelumnya, yaitu :

1. Asasnya: Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 asasnya dalah Agama.

Agamalah atau hukum agama yang dipeluk oleh seseorang yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pasal 2 ayat (1) : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

2. Tujuannya: Sesuai dengan pasal 1 bahwa “Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Membentuk keluarga bahagia itu, dalam penjelasannya berkaitan erat dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan (keturunan) yang menjadi hak dan kewaiban (kedua) orang tua.

3. Sifatnya: Mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum wanita yakni para isteri dengan adanya ungkapan jelas dalam Undang-Undang tersebut bahwa hak dan kedudukan suami adalah seimbang dengan hak dan kedudukan isteri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.


B. Nikah Sirri Di Mata Undang-Undang Perkawinan

Dalam Undang- Undang Perkawian hukum pernikahan diatur sedemikian rupa, kalau dicermati status antara nikah sirri dengan poligami dimata Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah sama, keduanya sama-sama bentuk pelanggaran. Perbedaannya hanya terletak pada point pencatatan akta nikah di KUA dan KCS bagi nikah sirri dan menikah lebih dari satu istri bagi kasus poligami.

Untuk kasus nikah siri terbentur dengan aturan dalam Undang-Undang Pasal 2 No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku"

Dan pada dasarnya poligami juga demikian, yakni dialarang sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 1 Pasal 3 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

"Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."

Hanya saja kemudian diberikan jalan keluar jika menemukan kendala dalam rumah tangga dengan beberapa persyarata, draft itu berbunyi:

"Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan."

Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :

  1. Adanya persetujuan dari istri
  2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
  3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.

Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama.

Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya.

Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama.[72].

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan bahwa ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang. apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP Nomor 10 tahun 1983.

Permohonan ijin poligami yang diajukan bisa saja tidak memenuhi alasan, jika sikap istri yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri akibat tindakan suami itu sendiri yang hanya menuntut haknya saja tanpa mau melaksanakan kewajibannya dengan semestinya.

Penekanan prosedural ini lebih ditekankan lagi bagi para Pegawai negri Sipil (PNS), hal ini sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Syarat-syarat komulatif itu antara lain :

  1. Adanya persetujuan tertulis dari istri.
  2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.

Pejabat yang berwenang wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskannya kepada pejabat melalui jalur hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu.

Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :

  1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
  2. Surat keterangan pajak penghasilan.
  3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Dalam PP Nomor 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan memberikan ijin apabila :

  1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
  2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif .
  3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
  4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
  5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat.dengan itu.

Agar lebih rinci dan dipahami maka disini akan kami kutip penjelasan Undang-Undang No. 10 Tahun 1983 tentang siapa saja orang-orang yang ermasuk kedalam ruang limgkup Pegawai Negri Sipil dan Pejabat.

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan

a. Pegawai Negeri Sipil adalah:

  1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;

2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu

(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;

(b) Pegawai Bank milik Negara;

(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;

(d) Pegawai Bank milik Daerah;

(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;

(f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa;

b. Pejabat adalah :

1. Menteri;

2. Jaksa Agung;

3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;

4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara

5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;

6. Pimpinan Bank milik Negara;

7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;

8. Pimpinan Bank milik Daerah;

9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah[73]

Semua Undang-Undang perkawinan inipun kemudian masih dianggap kurang dan pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuannya Mutia Hatta berinisiatif untuk memperketat berlakunya poligami tidak hanya untuk PNS seperti yang sudah diberlakukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1983 yang direvisi oleh PP No 45 tahun 1990. tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Meutia Hatta mengatakan bahwa cakupan PP ini akan diperluas untk kalangan pejabat Negara, pejabat pemerintah, anggota ABRI dan anggota DPRDBahkan sebelumnya pemerintah mendeklarasikan akan melarang adanya poligami dengan merevisi UU tentang Perkawinan tersebut, dan menghukum siapapun pelakunya. Apakah tepat kebijakan tersebut diberlakukan di Indonesia yang mayoritas muslim?

Walhasil, kalau boleh dikatakan nikah sirri juga adalah salah satu dampak aturan-aturan perkawinan yang mengikat, membatasi dan cendrung berbelit-belit dan menyulitkan pelakunya. Penetapan Undang-Undang tentang perkawinan ini tidak lepas dari buruknya image masyarakat tentang poligami, yang dalam hal ini pejabat yang meletakkan Undang-Undang tersebut, dan beberapa kasus-kasus oknum poligami yang gagal dan tidak melandasi poligami dengan ilmu agama.


KESIMPULAN

Setelah mengkaji dan meneliti tema tentang Nikah siri dari berbagai aspek nya dan bersumber dari berbagai macam literature, serta dengan mengutip pendapat-pendapat para penulis-penulis terdahulu dari kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakkhirin serta dengan melihat fakta-fakta kekinian yang digaris bawahi oleh para pakar yang Ahli di bidangnya, juga apa yang telah disepakati oleh komisi fatawa Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka penulis mencoba menyimpulkan bebarapa poin:

  1. Nikah siri sah dan halal secara hokum Islam, selama tidak menimbulkan dampak negative bagi pelaku dan orang-orang terkait, terutama anak.
  2. Perlu adanya penyadaran dan perbaikan (Islah) terhadap keyakinan ummat Islam terhadap ajaran agamanya, karena menolak sebagian dan mengambil sebagain adalah bentuk kekufuran, khususnya dalam hal ini tentang hakikat poligami yang merupakan wahyu Allah yang harus di yakini ke benarannya, walaupun secara pribadi itu belum mampu dilaksanakan.
  3. Menjadi keharusan bagi Ummat untuk menuntut Ilmu Agama yang Hukumnya Fardhu 'Ain bagi setiap individu, sebagai landasan dalam mengamalkan setiap sunnah yang telah dicontohkan Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam, sehingga terhindar dari budaya taqlid yang menghinakan
  4. Perlu diadakannnya amandemen Undang-Undang Tentang Perkawinan di Indonesia, sehingga lebih pefresentatif bagi warga Negara Indonesia, mengingat mayoritas warga Negara Indonesia beragama Islam.
  5. Dibutuhkan peran aktif pemerintah, orang tua dan setiap individu masyarakat dalam menggalakkan pernikahan bagi generasi yang telah mampu dan matang secara biologis dan psikologis, sebagai upaya menekan angka kejahatan dan penyimpangan seksual, diluar jalur sah yang telah digariskan oleh sunnah,
  6. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat akan perlunya pencatatan akta nikah sebagai bentuk upaya kehati-hatian dalam (Mu'amalah) serta mengurangi terjadinya korban dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, dan tidak mempunyai i'tikad dalam menjalankan pernikahan sebagai bentuk Sunnah nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam

DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. Yusuf al-Qardhahi, "Fatwa-Fatwa Kontemporer," Jilid 1, Gema Insani Press, 1993.
  2. Syeikh ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, "Fiqh Empat Mazhab," (Rahmatul ummah fikhtilafil aimmah), Cet ke-2, Maktabah Haromain Littiba'ah, 2004
  3. Abdul halim Abu Syuqqah, "Tahrirul mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah, Daarul Qalam Kuwait. Cet I, 1411 H – 1991 M.
  4. Dr. Yusuf al-qordhowi, "As-Shohwatul Islamiyah Wa Humumul Wathon Alarabi" Cairo, 1308 H- 1988.
  5. Syeikh kamil Muhammad Uwaidah, "Fiqh Wanita," (al-jami’ fi fiqh Nisa’), Cet ke-26, Putaka al-Kautsar. Tahun 2008
  6. Abdurrahman al-Jazari, "al-fiqh ‘ala mazahibil arba’ah," Jilid 4, Daarul Bayan Litturats.
  7. Dr. Sayyid Sabiq, Kitab Fiqh Sunnah, Maktabah Alkhidmat AlHaditsah, Jeddah, Jilid 2,
  8. Imam Malik bin Anas, al-Muwattha Imam Malik, jilid 1, Cet I, Pustaka Azzam, Jakarta

9. Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, "Fi Fiqh Sunnah Walkitabil 'Aziz," Cet III, Maktabah Daar Ibnu Rajab. Mesir

  1. Amin bin Yahya al-Wazan, "Fatwa-Fatwa Tentang Wanita" (alfatawa aljami’ah lil mar’atis shalihah), Jilid 2, Daarul Haq, Tahun 2001.
  2. Majalah Hidayatullah, 29 agustus 2005
  3. Terjemah Shahih Muslim digital versi 2.0
  4. Majalah as-Syari’ah offline
  5. Anwar Harjono, Indonesia kita: pemikiran berwawasan iman-Islam, Gema Insani, 1995
  6. Amrullah Achmad, Busthanul Arifin, Dimensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional: mengenang 65 th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH.
  7. Penerbit Gema Insani, 1996
  8. Akhsin Muamar, "Nikah Bawah Tangan (versi Anak Kampus)," Qultum Media.
  9. Busthanul Arifin, "Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan, dan prospeknya," Gema Insani, 1996
  10. M. Nabil Khazim, "Buku Pintar Nikah," Penerbit Niaga Swadaya
  11. "Kenapa Harus Melajang?" Penerbit DAR! Mizan
  12. Nurul Huda Haem, Muh Iqbal Santosa, "Awas! illegal wedding: dari penghulu liar hingga perselingkuha", Penerbit Hikmah, 2007.

22. Imam Syaukani, Nailul Author Syarhu Muntaqal Akhbar, Juz 1, Hal 465, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

23. Sunan Baihaqy, Juz 2, hal 160, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

24. Majma Zawaid dan Manba' fawaid, Juz 2 Hal 198, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

25. Harian Serambi Indonesia bekerjasama dengan IDLO (International Development Law Organization Organisation Internationale de Drolt du Developpement). www. Idlo.int/bandaacehawarenwss.HTM

26. Akhsin Muammar, "Nikah Bawah Tangan Versi Anak Kampus," H 18, Qultum Media,

27. Surat Edaran Kementrian Luar Negri Amerika Serikat Melalui Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengenai Laporan kebebasan beragama internasioanal 2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh. Diterbitkan pada tanggal 8 Nopember 2005.

28. Drs. Amrullah Ahmad, SF. Dkk, "Dimensi hukum Islam dalam system hukum di Indonesia": mengenang 65 th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH., Gema Insani Press, Tahun 1996.

29. Ahmad, Drs. Amrullah, SF. dkk (ed), prospek hukum Islam dalam pembangunan Hukum Nasional di Indonesia sebagi sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, PP-IKAHA, Jakarta 1994

30. Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, Penerbit Visi Media, 2007,

31. Imam Syaukani, Nailul Author Syarhu Muntaqal Akhbar, Juz 1, Hal 465, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

32. Sunan Baihaqy, Juz 2, hal 160, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

33. Majma Zawaid dan Manba' fawaid, Juz 2 Hal 198, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

34. Mushonnaf Libni Abi Syaibah Juz 3, Hal 495, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

35. Sunan Imam Sa'id Ibn Manshur. Juz 2, Hal 156, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

36. Mausu'ah Fiqhiyyan Kuwaitiyyah. Juz 132 Halaman 38, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

37. Ushul Sarkhasi, Juz 2 Hal 182, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

38. Al Bidayah Al Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

39. syarah Ma’ani Al Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555), Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

40. Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, "Shahih Fikih Sunnah," ta'liq oleh Syaikh Nashiruddin Al-Bani

41. Syarhu Zarkasyi, Jil 5 hal 22, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

42. Al-Mughni, Jil 9 hal 349, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

43. Al-Iqna' lissyarbini Jil 2 Hal 408, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

44. Kitab Al-Mughni Jil 9 Halaman 348, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

45. Imam Malik. Kitab Mudawwanah Kubro, Jilid 4 Halaman 193, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

46. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannif Jilid 4 halaman 17, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

47. Shahih Ibnu Hibban Jilid 9 halaman 386, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

48. Khulashoh Badr Munir, Jilid 2 Halaman 176, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

49. Faidhul Qodir. Jil 6 Halam 438, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

50. Irwaul Ghalil. Jilid 6 halaman 259, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

51. Talkhisul Khobar, Jilid 3 Halaman 156, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

52. Faidhul Qodir, Jilid 6 Halaman 438, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11.

53. Syarh Zarkasyi Jilid 5 Halaman 23, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

54. Ulama banyak menukil ini dari beliau seperti Ibnu Qudamah di kitab al-Mughni Jilid 9 Halaman 347.

55. Syaikul Islam "Majmu' fatawa Ibnu Taimiyah" Juz 32 H. 35, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

56. Al-Ghardhul Munifah, H 163, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11.

57. Jalaluddin Suyuti, "Al-Asybah wa Nazhaair," Hal 61, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11.

  1. Seperti yang diungkapkan Ketua Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI lantai dasar Masjid Istiqlal, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (30/5/2006).

59. Fatawa Wa Rosail Muhamad Ibrahim Alu Syaikh, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

60. "Majallah Alwa'yu Al-Islami," Dibawah Naungan Kementrian Waqaf Dan Urusan Keislaman Kuwait.

61. Tafsir Ibnu katsir, Jilid 1, Hal 617, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11

62. Ahkaamul Quran lil Jasshos. Juz 2 hal 265. Nailul Author. Jil 9, hal 50, Maktabah Syamilah Digital Versi. 2.11.

63. Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) Jokjakarta. www.detik.com. Kamis 1/8/2002

64. M. Fauzil Adhim, "Indahnya Pernikahan Dini," Gema Insani Press

65. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, "I'lamul Muwaqqi'in", Jilid III, Halaman 14.

66. Shobhi Mahmasany, "Falsafah At-Tasyri' Fil Islam," halaman 220.

67. Abdul Wahab Khallaf, Mashadit at-tasyri' Ma La Nashho Fihi, Hal 8.

68. Drs. H.A. Mukti Arto,S.H., "Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama," Pustaka Pelajar, 2003

69. Website resmi lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk keadilan. Jakarta



[1] Shafiyurrahman Mubarokfuri, ar-Rahiqum Makhtum, Benares India

[2

[3]

[4] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, la-wajiz fi Fiqhi ssunnah walkitabil 'Azi,

[5]

[6] Q.S. An-Nisa: 3

[7] Dr.Yusuf Qordhowi, Fatwa Kontemporer, Jilid 1.

[8] Harian Serambi Indonesia dengan IDLO (International Development Law Organization Organisation Internationale de Drolt du Developpement). www. Idlo.int/bandaacehawarenwss.HTM

[9] QS. Ar-Rum:21

[10] Kitabul fiqh 'ala mazahibil 'arba'ah, Juz 4, karangan Abdurrahman aljazari cetakan Daarul Kutub alilmiyah, Beirut libanon.

[11] Muammar, akhsin, Nikah Bawah tangan versi anak ka,pus. Penerbit Qultum Media, hal 18

[12] Ibid, hal 19

[13] Menurut surat edaran kementrian luar negri amerika serikat melalui Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengenai Laporan kebebasan beragama internasioanal 2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh. Diterbitkan pada tanggal 8 Nopember 2005.

[14] Ahmad, Drs. Amrullah SF. Dkk, Dimensi hukum Islam dalam system hukum di Indonesia : mengenang 65 th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH., Gema Insani Press, Tahun 1996.

[15] Ahmad, Drs. Amrullah, SF. dkk (ed), prospek hukum Islam dalam pembangunan Hukum Nasional di Indonesia sebagi sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, PP-IKAHA, Jakarta 1994

[16] Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, Penerbit Visi Media, 2007,

[17] Nailul Author Syarhu Muntaqal Akhbar, Juz 1, Hal 465

[18] Sunan Baihaqy, Juz 2, hal 160.

[19] Majma Zawaid dan Manba' fawaid, Juz 2 Hal 198

[20] Mushonnaf Libni Abi Syaibah Juz 3, Hal 495

[21] Sunan Imam Sa'id Ibn Manshur. Juz 2, Hal 156.

[22] Mausu'ah Fiqhiyyan Kuwaitiyyah. Juz 132 Halaman 38.

[23] Ushul Sarkhasi, Juz 2 Hal 182.

[24] Q.S. An-Nisa' : 22-24

[25] Q.S. An-Nisa': 25

[26] Sayyid Sabiq, Fiqh Assunnah, maktabah alkhidmatul haditsah dan Daarul Qiblah litssaqofah Islamiyah.

[27] Al Bidayah Al Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149

[28] syarah Ma’ani Al Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555).

[29] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, dikomentari oleh Syaikh Nashiruddin Al- Albani. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Pustaka Azzam 3/144.

[30] Syarhu Zarkasyi, Jil 5 hal 22.

[31] Al-Mughni, Jil 9 hal 349

[32] Al-Iqna' lissyarbini Jil 2 Hal 408

[33] Kitab Al-Mughni Jil 9 Halaman 348

[34] Imam Malik. Kitab Mudawwanah Kubro, Jilid 4 Halaman 193.

[35] Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannif Jilid 4 halaman 17

[36] Shahih Ibnu Hibban Jilid 9 halaman 386

[37] Khulashoh Badr Munir, Jilid 2 Halaman 176.

[38] Faidhul Qodir. Jil 6 Halam 438.

[39] Irwaul Ghalil. Jilid 6 halaman 259.

[40] Talkhisul Khobar, Jilid 3 Halaman 156

[41] Faidhul Qodir, Jilid 6 Halaman 438.

[42] Syarh Zarkasyi Jilid 5 Halaman 23.

[43] Ulama banyak menukil ini dari beliau seperti Ibnu Qudamah di kitab al-Mughni Jilid 9 Halaman 347.

[44] Majmu' fatawa Ibnu Taimiyah Jilid 32 halaman 35

[45] Al-Ghardhul Munifah, Halaman 163. Jalaluddin Suyuti, Al-Asybah wa Nazhaair, Hal 61.

[46] Seperti yang diungkapkan Ketua Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI lantai dasar Masjid Istiqlal, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (30/5/2006).

[47] Fatawa Wa Rosail Muhamad Ibrahim Alu Syaikh

[48] Q.S. Ar-Ruum: 22

[49] Q.S. Al-Baqarah: 187

[50] Q.S. Al-Ahzab: 37

[51] Majallah Alwa'yu Al-Islami, Dibawah Naungan Kementrian Waqaf Dan Urusan Keislaman Kuwait

[52] Q.S. An-nisa: 3

[53] Q.S. Ali-Imran: 14

[54] Q.S. Yusuf: 24

[55] Q.S. Al-Baqoroh: 187

[56] Tafsir Ibnu katsir, Jilid 1, Hal 617

[57] Q.S. an-Nisa': 24

[58] Ahkaamul Quran lil Jasshos. Juz 2 hal 265. nailul Author. Jil 9, hal 50.

[59] (HR Ibnu Majah), Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Ensiklopedia Fiqh Islam dalam Al-Quran dan Sunnah as-Shahihah.

[61] Hasil Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) terhadap Mahasiswa di Jokjakarta. www.detik.com. Kamis 1/8/2002

[62] M. Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, Gema Insani Press

[63] Q.S. Ar-Ruum: 22

[64] H.R. Ad-Dailami dari Ibnu 'Asakir

[65] Tafsir Ibnu Katsir Juz 1, Hal 610.

[66] Harian Serambi Indonesia dengan IDLO (International Development Law Organization Organisation Internationale de Drolt du Developpement). www. Idlo.int/bandaacehawarenwss.HTM

[67] Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, I'lamul Muwaqqi'in, Jilid III, Halaman 14.

[68] Shobhi Mahmasany, falsafah at-Tasyri' fil islam, halaman 220.

[69] Hadits Mu'adz Bin Jabal

[70] Abdul Wahab Khallaf, mashadit at-tasyri' Ma La Nashho Fihi, Hal 8.

[71] Q.S. Al-baqarah : 208

[72] Drs. H.A. Mukti Arto, S.H., Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003

[73] Website resmi lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk keadilan. Jakarta

Tidak ada komentar: